44 - PENJELASAN DAN KEBENARAN

765 102 5
                                    

Rabu siang Jatinangor, ketika Dheo telah menyelesaikan kelas mengajarnya, mobilnya dengan segera meninggalkan area kampus lalu melaju cukup cepat menjauhi kawasan itu hingga memasuki deretan pepohonan tinggi dan besar di sepanjang jalan.

Dengan penuh semangat bercampur tidak sabar ia hendak menuju alamat yang ia terima selasa pagi kemarin dari orang yang selama ini ia tunggu yaitu Harto.

Hingga ia tiba di sebuah perkampungan beberapa kilo meter sebelum alun-alun Sumedang. Bermodalkan bertanya pada warga, akhirnya kakinya berhenti di depan sebuah rumah kayu tua khas perkampungan di adat Sunda.

Kemudian Dheo mengetuk pintu dan muncul lah seorang perempuan yang wajahnya sebenarnya cukup gak asing di kepalanya. Tapi Dheo gak begitu jelas mengingatnya. Ia pun gak begitu memikirkannya. Dia segera masuk setelah dipersilahkan. Derit setiap langkahnya mengeluarkan bunyi dari lantai kayu yang ia injak.

Duduk di ruang tamu, Dheo hanya bingung tanpa bersuara. Sesekali matanya melirik ke sekitar rumah yang tak memperlihatkan peralatan elektronik satupun. Gak lama setelah itu, perempuan yang tadi membuka pintu membawakan satu gelas teh hangat padanya beserta goreng pisang yang nampak sudah gak renyah lagi.

"Silahkan di minum pak" ujar perempuan itu.

"Terima kasih. Oh iya, saya kok kayak mengenal kamu ya?" tanya Dheo berusaha mengungkap rasa penasarannya.

"Saya tinggal ke belakang dulu. Ayah saya sudah saya telepon, mungkin bentar lagi juga datang" balasnya mengalihkan pertanyaan Dheo.

Dheo pun gak mau terlalu ambil pusing. "Oh... oke..."

Gak sampai sepuluh menit, dari arah dapur muncul sesosok laki-laki. Dengan cepat Dheo bisa melihat wajahnya.

"Selamat siang pak Dheo. Lama tak jumpa" laki-laki itu menjulurkan tangannya ketika berehenti tepat di hadapan Dheo.

Dheo berdiri tanpa membalas jabatan tangannya. "Pak Harto? Bapak dari mana saja? Kenapa susah sekali dihubungi. Kenapa—"

"Tenang pak Dheo" Tahan Harto menghadapkan telapak tangannya ke arah Dheo. "Silahkan duduk dulu. Saya mengundamg Anda ke sini karena untuk mengobrol dengan pak Dheo. Jadi semuanya pasti akan terjawab"

Dheo menurut. Ia pun kembali duduk.

"SIlahkan diminum" ujarnya. "Del, kopinya satu lagi!" sahut Harto.

"Maaf ya goreng pisangnya sisa sarapan tadi. Jadi sudah lembek" tambahnya pada Dheo.

Dheo masih belum bergeming. Hanya sorot matanya yang berbicara memperlihatkan sisi kesal.

"Sebelumnya maaf kalau saya minggu-minggu ini susah dihubungi. Saya sedang ada tugas ke luar kota yang kebetulan susah sinyal di sana. Tapi pak Dheo jangan khawatir, saya juga terus mencari informasi tentang kasus kita ini"

"Gini pak, maaf kalau saya lancang memotong" timpa Dheo cepat. "Jujur saya gak suka dengan cara bapak ini. Bapak memberi bukti-bukti yang bukannya membuat saya dan Vano lega, malah stress pak. Apalagi dengan bukti kedua yang cuma sekedar tulisan doang. Sekarang bapak tiba-tiba menghilang setelah kemarin saya—"

"Dari kampung halaman Vano?" potong Harto.

"Kok bapak bisa tahu?" Dheo sontak mengerutkan dahinya.

"Saya juga ke sana beberapa hari lalu. Saya bertemu Fikri. Dia cerita ke saya"

"Fikri?"

"Orang yang pak Dheo temui bersama teman pak Dheo itu" jawabnya.

Dheo mengangguk pelan. Ia baru ingat sosok bernama Fikri itu yang juga memberikannya informasi jika orang di hadapannya ini lah yang tahu banyak tentang ayah Vano hingga keberadaan adik Vano.

Love without DegreeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang