45 - CINTA TANPA GELAR

829 96 7
                                    

Satu bulan kemudian tak ada duka ataupun masalah-masalah rumit di kepala Dheo maupun Vano. Hari ini akan menjadi hari paling spesial buat Vano. Bukan sekedar kabar tentang kesiapan Vano untuk menjalani pengobatan sja. Tetapi hari yang ditunggu-tunggu Vano selama ini tiba. Vano akhirnya wisuda pendidikan strata satu-nya setelah menempuh perkuliahan selama tujuh tahun.

"Selamat ya Van. Saya bangga sama kamu. Akhirnya yang ditunggu-tunggu tiba juga" Dheo memberikan pelukan selamat pada Vano di tengah kerumunan wisudawan dan orang tua yang hadir.

"Saya terharu sekali pak. Semuanya berkat bapak. Ah, kalau saja bukan di kampus, saya sudah menci—"

"Ssst! Jangan dieruskan!" Dheo buru-buru menempelkan jarinya telunjuknya di bibirnya sendiri. "Ya udah kamu lanjutkan sama teman-teman kamu. Saya mau masuk kembali"

"Vano..." sahut seseorang. Dheo pun mengurungkan langkahnya.

"Hei, Jer... congratulations ya!" ujar Dheo buru-buru menyalami Jerry.

"Terima kasih ya pak Dheo"

"Terima kasih juga ya. Selama sebulan ini kamu sudah bersikap seperti apa yang saya minta. Setelah ini, ayo kita sama-sama melanjutkan investigasi" lanjut Dheo berbisik ke telinga Jerry.

Jerry hanya tersenyum mengerti tanpa memperlihatkan raut muka yang membuat Vano curiga. Bahwasannya ia telah mengetahui tentang Vano karena Dheo sudah memberitahu Jerry mengenai penyakit yang diderita sahabat sekaligus kakak tirinya itu.

"Vano! Selamat ya! Selamat sudah jadi sarjana" Harto tiba-tiba dating menjulurkan tangannya kea rah Vano.

Vano segera membalasnya. "Pak... pak Harto? Terima kasih pak. Tapi.. kok bapak bisa ada di sini?"

"Anak saya juga wisuda hari ini" jawab Harto tersenyum.

"Anak bapak? Bapak punya anak yang kuliah di sini juga?"

"Hallo kak Vano" seketika Adelia muncul di hadapan mereka.

"Loh... kamu... jadi..." Vano mengerutkan keningnya.

"Dia anak saya Van" timpa Harto cepat.

"Kenapa bapak gak bilang kalau dia anak bapak?" serbu Vano. Tapi Harto hanya tersenyum.

"Selamat ya Del" ujar Dheo.

"Makasih ya pak Dheo"

"Pak Dheo bisa ikut saya sebentar?" tanya Harto.

Dheo pun mengangguk. "Baik pak".

"Saya ikut" tahan Vano.

"Van., kamu sama Jerry dan Adelia dulu. Tolong jaga status kita di area kampus ini" pinta Dheo. Vano pun mengalah. "Hmm... ya udah"

"Ada apa pak?" Lalu mereka menjauhi Vano, Adelia dan Jerry.

"Saya sudah berhasil mendengar penjelasan ayahnya Jerry. Rekamannya ada di laptop saya. Dan untuk pembunuhnya dugaan terkuat adalah Steve. Steve juga sudah ditemukan dan baru diamankan polisi sekarang. Dan saya mau kasih tahu jika dua sampai tiga Minggu lagi adalah persidangan. Saya harap pak Dheo datang. Tetapi, saya rasa Vano jangan ikut dulu. Saya takut emosi dia membludak dipersidangan kalau sampai tahu siapa pembunuh ayahnya" papar Harto.

"Baik pak. Saya mengerti. Terima kasih ya pak"

"Ya udah kita balik ke mereka"

Dheo dan Harto kembali menghampiri yang lainnya. "Hey.. asik banget pada ngobrolin apaan?"

"Biasa lah yah... ngobrolin awal-awal pertemuan kita sampai Jerry yang berusaha mengejar aku. Gak kerasa ya udah lulus aja sekarang" jawab Adelia pada Harto selayaknya anak kepada ayahnya. Hubungan mereka begitu dekat.

Love without DegreeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang