"Ketika seseorang ikut campur dengan masalah orang lain, itu bukan karena dia sok mau jadi pahlawan, tetapi karena orang itu benar-benar peduli." ~ Rumayesa
=========================
Dheo mendapati Vano yang dalam keadaan gusar ketika memasuki kamar selepas mandi. Lalu mendekatinya perlahan meski tak benar-benar berani untuk berada di sampingnya.
Sejak semalam, Vano benar-benar gak mau diganggu olehnya. Segala cara sudah Dheo lakukan supaya ia paling tidak bisa sekedar menyentuhnya. Semuanya sia-sia. Bahkan Dheo sampai tak tidur hanya untuk menunggu kekasihnya terlelap lebih dulu. Tetapi lagi-lagi usahanya sia-sia. Vano juga tak memejamkan matanya semalaman.
Meyentuh Vano sama dengan memancing keributan. Sehingga Dheo mengalah. Berusaha mengerti posisi kekasihnya beberapa saat hingga semuanya mereda.
Selagi mengenakan pakaian, mata Dheo gak henti-hentinya tertuju pada Vano. Kadang pacarnya itu duduk di pojokan kasur, terkadang mondar-mandir atau yang membuatnya khawatir ketika Vano sudah mulai meremas kepalanya sendiri.
Sementara pagi ini Dheo ada jadwal mengajar jam 10. Ia sadar kalau harus meninggalkan Vano yang masih dalam keadaan seperti itu hanya akan membuat pikirannya kacau. Ia tidak akan bisa konsentrasi dalam mengajar. Maka sekali lagi, Dheo memberanikan diri untuk melangkah mendekatinya.
"Vano..." lirihnya dengan hati-hati.
"DIAM DI SITU!" serbu Vano melempar tangannya ke arah Dheo. Jarak tiga meter di antara mereka membuat Dheo gak berani lagi mengambil langkah.
"Tapi sayang—"
"Berani kamu ke sini, kamu gak akan pernah bisa lihat aku lagi Dhe!"
"Aku mohon... Aku benar-benar minta maaf atas—"
"CUKUP DHE!" Mata Vano merah menatap Dheo. "Mau sampai kapan kamu minta maaf?! Maafmu itu gak akan mengembalikan keadaan!"
"Tapi aku—"
"Kalau kamu memang mau ke kampus, pergilah Dhe! Tolong biarkan aku sendiri dulu"
"Tapi kamu sudah sendiri dari semalam Van! Bahkan kamu gak tidur. Mau sampai kapan kamu kayak gini? Aku bingung Van harus berbuat apa supaya kamu—"
"Mengerti? Supaya aku mengerti maksud kamu?" Vano melemparkan tatapan yang begitu tajam. "Dhe, asal kamu tahu, ketika aku hampir menganggapmu adalah pembunuh kematian bapakku. Aku stress setengah mati. Karena apa? Kamu adalah orang yang terlanjur aku sayang. Dan beruntung karena dugaanku waktu itu salah. Sekarang, disaat aku mencurigai Jerry kenapa tiba-tiba dia harus bilang adik tiriku?"
"Tapi belum tentu Jerry pembunuhnya kan? Apalagi dia masih remaja. Masa membunuh"
"Kalau iya?"
Dheo memejamkan matanya sesaat. Ia bingung harus bagaiaman lagi menjelaskan pada Vano.
"Van... kita masih perlu bukti banyak. Belum tentu Jerry pembunuhnya"
"Aku gak masalah sekalipun dia yang bunuh. Yang jadi masalah aku itu kenapa harus dia? Kenapa harus sahabat aku dan kenapa harus orang yang tiba-tiba mengaku adik tiriku?" Vano menunjuj-nunjuk dirinya sendiri dengan setiap kalimat yang menggebu.
"Vano..."
"Udah kamu pergi aja Dhe. Kamu gak akan pernah mengerti posisi aku"
"Aku gak akan pergi Van. Aku akan di sini bersama kamu"
TOK TOK TOK!
Dari arah luar, terdengar seseorang mengetuk pintu rumah mereka.
"Ada tamu" kata Vano pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love without Degree
General FictionHighest Rank: No #2 - Dalam Kategori "Misteri" (Mei, 2018) ✔ "LOVE WITHOUT DEGREE" ADALAH SEBUAH CERITA KELUARGA, PERSAHABATAN, CINTA DAN MISTERI KEHIDUPAN YANG SEMUANYA DIBUNGKUS DALAM ALUR PLOT-TWIST BERLATAR TAHUN 2000-AN DAN TAHUN 90-AN. ✔...