Ruangan itu masih tak menimbulkan suara. Vano berdiri lima meter dari tempat Jerry berdiri. Keduanya bertatapan dari semenjak Jerry menangkap sosok Vano di koridor apartemennya.
Bukan Jerry yang ragu. Tapi Vano yang terlalu berat melangkahkan kakinya.
Lima menit yang lalu Jerry hendak meninggalkan apartemen untuk sekedar berbelanja kebutuhan sehari-harinya. Ia berencana pergi ke sebuah mini market tak jauh dari apartemen. Baru saja ia mengunci pintu, Vano muncul dari arah lift. Vano terus berjalan menuju tempat Jerry hingga disaat Jerry melihat kedatangannya, Vano berhenti. Mereka pun saling bertatapan satu sama lain.
Berbagai topik pembuka pembicaraan saling berlarian di kepala Jerry. Ia bingung. Kalimat pertama apa yang harus ia lemparkan pada orang yang masih ia anggap sahabatnya itu. Semakin bingung kenapa secara tiba-tiba Vano muncul di hadapannya. Di sisi lain, Jerry bersyukur. Terlepas dari apa yang akan Vano lakukan padanya setelah momen saling tatap itu, paling tidak ia masih memiliki keyakinan jika Vano datang untuk itikad baik.
Sementara itu, kejadian serupa dialami Vano. ia juga gak mengerti harus berbuat apa. Rasa kesal sudah sebisa mungkin ia redam agar tidak lagi mengungkit soal perbuatan Jerry padanya. Ia juga tak pandai basa-basi sekalipun hal itu ia lakukan pada Demi sebelumnya. Tapi satu keyakinannya muncul jika Jerry tak akan mengusirnya atau bahkan melayangkan tinju padanya karena ia telah mendengar cerita dari Jani sebelumnya.
Jerry hendak menarik satu langkah ke depan. Pun dengan Vano. keduanya kembali bertatapan canggung.
Ditariknya napas dalam-dalam. Bagaimanapun Vano menyadari satu hal jika ia lebih dewasa secara umur dibandingkan Jerry. Ia sudah menganggap sahabat di hadapannya itu sebagai adik sendiri, maka ia lah yang sepatutnya menyapa Jerry terlebih dahulu.
"Jer... lo..."
"Kenapa datang ke mari?" potong Jerry.
"Emm... gue..."
Ucapan itu terhenti. Vano tak serta merta merasa harus langsung bilang kata "maaf" pada Jerry meski tujuannya adalah itu. Tapi ia juga tak punya alasan lain atas kedatangannya. Perlahan tapi pasti mereka saling melangkahkan kaki hingga pada akhirnya keduanya hanya berjarak tidak lebih dari satu meter sekarang.
"Kalau lo datang kemari untuk mukulin gue, gue siap menerima balasan lo" ujar Jerry pelan. "Tapi kalau..."
"Jer, gue minta maaf" seketika Vano meraih tubuh Jerry dan memeluknya erat.
"Vano..." Jerry terkejut. Sesaat kemudian ia hendak memeluk balik tubuh Vano, tapi ia masih ragu.
"Gue terlalu egois karena udah keras kepala kayak gini. Gue yang salah di sini tapi gue juga yang justru tidak punya niat untuk baikan sama lo. Harusnya gue yang marah sama diri gue sendiri. Bukan lo" papar Vano nyerocos.
"Van... lo ngomong apa sih? Gue yang... aghhh..." Jerry akhirnya menarik tubuh Vano balik hingga keduanya berpelukan begitu erat. "Gue yang harus minta maaf Vano... gue terlalu kekanakan menerima kenyataan lo yang..."
"Gay?" potong Vano.
"Emm... gue... gue gak maksud bilang lo..."
Vano melepaskan pelukan itu. "Jer... Jer... lo gak perlu merasa gak enak. Lo mau bilang gue gay, bilang gue bisex, bilang gue apapun. Terserah. Yang penting lo tetap sahabat gue"
"Vano... sorry..." Jerry kembali memeluk tubuh Vano.
Merekapun kembali berpelukkan selama beberapa detik lamanya.
"Jer, kok pundak gue basah? Lo nangis?" Vano setengah berbisik sembari mendengar baik-baik apakah sahabatnya itu benar sedang menangis atau tidak.
"Sorry ya Vano... terserah lo mau bilang gue cengeng atau gimana tapi gue senang benget lo kembali" jawab Jerry cuek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love without Degree
General FictionHighest Rank: No #2 - Dalam Kategori "Misteri" (Mei, 2018) ✔ "LOVE WITHOUT DEGREE" ADALAH SEBUAH CERITA KELUARGA, PERSAHABATAN, CINTA DAN MISTERI KEHIDUPAN YANG SEMUANYA DIBUNGKUS DALAM ALUR PLOT-TWIST BERLATAR TAHUN 2000-AN DAN TAHUN 90-AN. ✔...