Dheo mendapatkan Vano tergeletak di lantai sebuah lorong dekat toilet dengan pakaian yang dipenuhi muntahan dan mulut yang begitu bau alkohol. Ini adalah pertama kalinya Vano minum minuman keras. Gak heran jika ia langsung seperti itu.Dheo segera meminta tolong pengunjung club buat membawa Vano ke dalam mobilnya. Lalu dengan cepat Dheo membawa Vano ke sebuah hotel gak jauh dari club itu berada.
Pagi hari.
Kantuk masih menyelimutinya. Vanno membuka mata dengan sangat berat. Lalu dipegangnya kepalanya itu ketika ada sedikit nyeri yang dirasakan dari sisa minuman semalam.
"Shhh... aww..." Vano bangun dari tidurnya. Dengan perlahan matanya terbuka. Ia melihat ke sekeliling. Vano yakin jika ia gak sedang berada di apartemen Jerry karena gak ada yang bisa ia kenali dari ornamen ruangan itu.
Bahkan sprei berikut selimut putih yang menutupi tubuhnya pun sudah jelas jika itu bukanlah sprei yang biasa ia kenakan sehar-hari.
Vano terdiam, otaknya mulai mencerna keberadaannya sekarang. Lalu sejurus kemudian ia sadar jika semalam ia berada di sebuah Club malam di bilangan Setiabudhi bersama Dheo. Tetapi kemudian pikirannya sedikit diputar secara lebih cermat. Bukan Dheo orang terakhir yang bersamanya. Melainkan seorang pria yang baru dikenalnya bernama Dylan. Ya. Vano ingat nama pria itu.
Tapi di mana pria itu sekarang?
Vano kembali melihat sekelilingnya. Dari fasilitas yang ada di ruangan itu, kini ia sadar jika dirinya sedang terbaring di sebuah hotel.
Vano hendak beranjak dari kasurnya. Dibukanya selimut yang sedari tadi menutupi sebagian tubuhnya.
"Astagfirullahaladzim!" Vano terperanjat kaget.
Ia kembali menutupi tubuhnya. Di perhatikannya baik-baik sekujur tubuhnya itu. Dada Vano bergemetar seketika. Dia berada di atas kasur dengan hanya mengenakan celana dalam saja.
'Bagaimana ini bisa terjadi?' pikirnya.
'Apa yang telah terjadi dengan gue semalam?' Vano mulai ketakutan.
Ia berusaha kembali memutar ingatannya.
"Ya Tuhan... apakah semalam...." gumam Vano.
Ia ingat jika semalam berada di sebuah private party khusus gay lalu berbincang dengan Dylan di sebuah lorong dekat toilet. Dylan membujuknya untuk ikut minum sebelum akhirnya ia bercerita tentang hidupnya pada Vano hingga Vano gak ingat apa-apa lagi. Tapi pagi ini ia sudah berada di sebuah kamar hotel dengan tanpa mengenakan pakaian.
"apa jangan-jangan Dylan udah...."
"NOOOOOOOO!" Vano meremas kepalanya sambil berteriak kencang.
"NO.. Dylan!" Vano merasa terpukul.
Saat ini juga dirinya merasa menjadi orang paling kotor, orang paling hina di muka bumi. Ia sadar jika ia tidak begitu taat pada Tuhannya, tapi paling tidak Vano tidak pernah berpikir untuk melakukan sebuah dosa besar dengan label perzinahan. Apalagi harus berhubungan dengan seorang laki-laki yang sudah jelas tidak pernah dibolehkan oleh agama manapun.
Lag-lagi kalau berbicara agama segala sesuatu yang dilakukan umat manusia di bumi itu selalu lebih banyak salah ketimbang benarnya. Semua yang agama larang jelas untuk kebaikan umat manusia. Vano sangat terpukul dengan apa yang dialaminya pagi ini. Baginya menyukai sesama jenis bukanlah hal yang diinginkannya. Melintas di kepalanya pun tidak. Vano selalu memohon agar tidak pernah terjerumus pada hubungan sesama jenis sekalipun cinta itu selalu datang dengan sendirinya.
Ia mulai marah. Marah pada dirinya sendiri, dan marah pada Dylan yang telah membuatnya mabuk hingga melakukan perbuatan kotor itu.
Akibat teriakan Vano itu, Dheo yang sedang mandi di bawah shower pun sampai mendengarnya dan langsung meraih handuk untuk segera keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love without Degree
Fiksi UmumHighest Rank: No #2 - Dalam Kategori "Misteri" (Mei, 2018) ✔ "LOVE WITHOUT DEGREE" ADALAH SEBUAH CERITA KELUARGA, PERSAHABATAN, CINTA DAN MISTERI KEHIDUPAN YANG SEMUANYA DIBUNGKUS DALAM ALUR PLOT-TWIST BERLATAR TAHUN 2000-AN DAN TAHUN 90-AN. ✔...