Dheo menghabiskan sisa siang di kereta, lalu menghabiskan sisa sore, berupaya untuk tidak menangis, berupaya untuk tidak berpikir—mengenai hasil pemeriksaan, mengenai hari ini, mengenai nanti malam, mengenai besok, mengenai Vano.
Di depan pagar rumah, awan-awan hitam terlihat mulai bergerombol, ia menatap ke langit sesaat, berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh berbarengan dengan hujan, ia sebisa mungkin harus tersenyum. Beberapa langkah lagi ia akan menemui kekasihnya. Mau tidak mau harus sadar dan siap jika kini ia menghadapi siapa kekasihnya yang sebenarnya.
Tunggu.
Dia belum benar-benar mengetahui siapa Vano dan apa yang ada di balik kisah hidup yang sebenarnya.
Lantas, tak sampai lima belas detik, pikirannya langsung terbang cepat pada Jerry. Bukan soal perkara yang menimpa kematian ayah Vano, tetapi Dheo justru sedang memiliki pemikiran lain. Jerry orang yang sedikit banyak pasti tahu tentang Vano, maka ia harus segera menemuinya
Kakinya berbalik 180 derajat. Hatinya teguh untuk mendatangi Jerry terlebih dahulu. Dheo mulai mengayunkan satu kakinya. Namun tertahan dan menggantung di sana mana kala satu teriakan mengarah padanya.
"Udah pulang?!" sahut seseorang dari arah belakang yang sudah jelas ia ketahui jika itu suara Vano.
Dengan pelan Dheo menoleh. "Hey...!" lalu melambaikan tangannya sembari senyum terpaksa.
"Lagi ngapain? Kok berbalik? Ada yang ketinggalan?" tanya Vano masih berdiri di ambang pintu. Ia sudah melihat kedatangan Dheo dari dalam rumah.
Dheo menggeleng kecil.
Lalu ditariknya satu kaki untuk segera memasuki rumah.
Dalam sekejap, tubuh Vano sudah berada dalam pelukannya yang erat. Vano menohok.
Jelas sekali jika ada yang aneh di raut wajah dan sikap Dheo. "Kamu baik-baik aja?"
Salah.
Ia tahu jika pacarnya sedang dalam keadaan tidak baik, maka sejurus kemudian Vano melepaskan pelukan itu dan menatap Dheo dalam. Mengoreksi pertanyaannya, "Maksudku... kamu kenapa?"
"Aku?" Dheo nampak kebingungan. Bagaimana bisa Vano bertanya seperti itu? Pikirnya.
"Ya, emang ada orang lain di sini?"
"Aku... aku gak apa-apa. Yuk masuk" Dheo nyelonong kebingungan.
"Jangan bohong!" Vano segera menarik tangan Dheo sehingga mereka saling bertatapan.
Dheo semakin kaku. Dilihatnya wajah Vano baik-baik. Maka tanpa ia sadari, jatuh juga air matanya yang sedari tadi ditahan itu membuat Vano kaget seketika.
"Dhe? Kok kamu nangis?" Vano menyeka air mata itu segera.
Seperti Vano, Dheo pun ikut kaget menyadari ada air mata yang mengalir di pipinya itu. "Oh, maaf... aku—"
"Apa yang terjadi di Bandung?" potong Vano.
"Van... aku perlu mandi" Dheo berusaha melepaskan tangan Vano.
"Jawab aku dulu!"
"Oke. Izinkan aku untuk mandi terlebih dahulu. Aku akan ceritakan semuanya setelah itu"
"Janji?"
Dheo mengangguk. Sebuah anggukan setengah yakin. Bagaimana mungkin ia harus menceritakan semua yang terjadi di Bandung pada pacarnya itu sementara Yesa sudah memberinya peringatan jika ada cara lain untuk memberi tahu Vano terutama soal penyakit yang dideritanya itu. Belum lagi soal kasusnya dengan Steve yang akan sangat membuatnya panik dan marah besar kalau sampai dia langsung tahu ada hubungan antara sahabatnya dengan sahabat Vano itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love without Degree
General FictionHighest Rank: No #2 - Dalam Kategori "Misteri" (Mei, 2018) ✔ "LOVE WITHOUT DEGREE" ADALAH SEBUAH CERITA KELUARGA, PERSAHABATAN, CINTA DAN MISTERI KEHIDUPAN YANG SEMUANYA DIBUNGKUS DALAM ALUR PLOT-TWIST BERLATAR TAHUN 2000-AN DAN TAHUN 90-AN. ✔...