Bandung, Minggu siang.
Vano melepaskan pelukan Dheo dari tubuhnya dan segera membuang muka. Ia tersenyum sebelum mengalihkan tatapannya ke lantai yang ada di bawah kakinya. Kini, ia sudah siap dengan apa pun yang kiranya akan terjadi.
"Aku tunggu di depan. Atau mungkin aku akan keluar jalan-jalan sebentar" ujar Dheo mengusap pipi Vano lembut.
Vano mengangguk. Ia pun masuk ke ruang praktek Yesa, sapaan Rumayesa Ariandini. Psikolog juga dokter umum yang sekaligus seorang teman Dheo yang tengah meluangkan waktu minggunya untuk praktek demi Vano.
"Haha... jadi yang namanya Vano itu ternyata benar adanya" ujar Yesa berputar menuju kursi kerjanya.
"Maksudnya? Kok tiba-tiba ketawa?" tanya Vano penasaran dengan sedikit rasa canggung mengingat ia belum mengenal betul sosok perempuan dengan rambut kuncir kuda di hadapannya itu.
"Ya selama ini isu yang berkembang kalau Dheo mendambakan sesosok cowok bernama Vano selama bertahun-tahun lamanya. Tapi cowok itu bahkan tak pernah nampak sekalipun hanya fotonya. Kami, teman-teman dekatnya pikir itu hanya sebatas khayalan dia belaka" jelas Yesa mempersilahkan Vano duduk melalui gerakan tangannya.
Vano menarik kursi lalu duduk dengan segera. "isu yang berkembang? Tentang gue? teman-teman dekat?"
"Sudahlah. Lo juga nanti ngerti. Intinya, nama lo udah terkenal jauh sebelum lo ada di sini" Yesa tersenyum kecil.
"Hemm... ya udah kalau gitu nanti gue tanya ke Dheo langsung" ucap Vano tak mau lagi banyak bertanya.
"Terus gimana rasanya pacaran sama Dheo? Oh, maksud gue gimana rasanya pacaran sama cowok?"
"Aneh" jawabnya singkat. Lalu menyenderkan bahunya di kursi "Udah lah... kok kita jadi bahas hubungan gue sama Dheo? Kapan mau periksanya?"
"Ini kan lagi periksa. Ya udah lo kayaknya mau langsung ke intinya. Tapi gue sebenarnya mau bercerita dulu sebelum itu. Boleh?"
"Terserah" Vano sedikit ketus.
"Well, dalam beberapa bulan ini gue selalu mimpi aneh" Yesa mulai membuka cerita sembari memutar-mutar kursinya.
"Aneh gimana?"
"Entahlah. Seperti ada seseorang yang mau bunuh gue tapi gue gak tahu siapa dia dan apa alasan dia mau bunuh gue. Mimpi itu datang berulang-ulang dengan skenario yang sama"
Vano diam sesaat. Ia menyadari sesuatu tentang mimpi buruknya itu. Tapi kemudian, ada kecurigaan mendasar pada Yesa kenapa ia sampai bercerita tentang mimpi. 'Apa dia coba untuk bertanya soal mimpi gue? tapi kenapa? Dan untuk apa? Ah, lagian mana mungkin dia tahu soal mimpi gue kalau bukan dikasih tahu Dheo. Tapi ngapain juga Dheo sampai kasih tahu teman-temannya soal mimpi buruk gue?'
"Kok malah bengong sih lo! Mau dengerin cerita gue gak?"
"Oh, sorry. Iya silahkan"
"Tenang aja... gue hanya sebatas pengen sharing. Kalau lo mau share cerita lo ke gue juga gak apa-apa"
"Gak, gue gak punya cerita"
Mereka pun terlibat percakapan panjang setelah itu. Bahkan Vano sampai lupa diri kalau Yesa adalah perempuan yang baru saja ia kenal beberapa jam yang lalu. Mereka seperti dua orang yang sudah kenal dekat dalam jangka waktu lama. Vano pun akhirnya banyak bercerita tentang hidupnya tanpa ia sadari. Bahkan ketika melanjutkan ke sesi pemeriksaan, Vano dengam santainya mengikuti arahan Yesa tanpa banyak disadarinya.
Yesa merasa lega. Lambat laun ia berhasil membawa Vano bercerita pada permasalahan yang sedang dihadapinya.
Sementara itu, Dheo pergi menuju salah satu pusat perbelanjaan gak jauh dari perumahan tempat tinggal Yesa. Ia ingin sekali memberikan Vano hadiah atas kemauannya menemui Yesa. Meski itu bukan perkara susah, tapi paling tidak hadiah itu akan ia jadikan sebagai bentuk terima kasihnya pada Vano.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love without Degree
General FictionHighest Rank: No #2 - Dalam Kategori "Misteri" (Mei, 2018) ✔ "LOVE WITHOUT DEGREE" ADALAH SEBUAH CERITA KELUARGA, PERSAHABATAN, CINTA DAN MISTERI KEHIDUPAN YANG SEMUANYA DIBUNGKUS DALAM ALUR PLOT-TWIST BERLATAR TAHUN 2000-AN DAN TAHUN 90-AN. ✔...