11 - BOTH OF US

3.5K 265 77
                                    


Setiabudhi adalah salah satu kawasan yang cukup tinggi di kota Bandung. Gak heran jika udara paginya bisa lebih dingin dari pusat kota. Meski gak sedingin Lembang, tapi udara yang dihasilkan pun cukup untuk membuat siapa saja mengurungkan niatnya untuk keluar dari balik selimut.

Dalam dingin yang sunyi itu, Vano sudah terbangun. Di luar, langit masih betah dalam gelap. Diliriknya jam melalui ponsel pintar yang ada di sebelahnya.

04.18.
Ia mengucek matanya sebelum benar-benar beranjak dari sofa. Lalu mengalihkan pandangannya ke arah kasur dengan sprei putih itu dimana ada Dheo yang sedang tertidur pulas.

Vano menghampirinya. Lalu meletakkan telapak tangannya pada kening dosennya itu.

'Alhamdulillah sudah gak demam lagi' gumam Vano.

Menit berikutnya, ia segera mengambil air wudhu lalu melaksanakan shalat subuh ketika terdengar adzan sudah berkumandang.

Selepas shalat, entah kenapa pikirannya tiba-tiba saja dibawa ke suatu hari disaat ia pertama kali mengenal Dheo sebagai dosen politiknya. Ada rasa kagum yang Vano berikan pada waktu itu. Kekaguman dari seorang mahasiswa yang menyadari jika otaknya gak secerdas teman-temannya, kepada seorang dosen muda yang dari tutur bahasa ketika menjelaskan di depan kelasnya saja sudah terlihat betapa Dheo adalah orang yang sangat cerdas di mata Vano.

Vano bukanlah seorang mahasiswa yang aktif di dalam kelas. Apalagi pelajaran politik bukanlah mata kuliah yang mudah dicerna otaknya. Entah mengapa jika dari kepasifannya di dalam kelas, justru membawanya pada satu grup diskusi mahasiswa tingkat 1 yang menyoroti perpolitikkan dalam negeri. Vano ikut dalam grup itu karena diajak oleh salah satu teman kelasnya. Seperti halnya di kelas, di dalam grup itu pun Vano masih menjadi anggota yang pasif. Hingga akhirnya ia memilih keluar gak sampai satu semester.

Hingga suatu hari ketika dirinya di daulat untuk menjadi calon wakil Presiden BEM kampus, ia kembali bertemu dengan Dheo. Sejak saat itu ia jadi sering melakukan diskusi dengan Dheo, terutama yang berbau politik. Sampai akhirnya Vano pun terpilih sebagai Wakil Presiden BEM tingkat Universitas.

Siapa sangka dari pencalonannya sebagai Wakil Presiden BEM, membuat hubungan mahasiswa dan dosen itu tidak hanya dekat di area kampus. Di luar perkuliahan mereka sering bertemu untuk melakukan diskusi. Kadang membahas isu-isu negara, film-film berbau sejarah atau mengulas buku-buku politik dan juga sejarah hingga filsafat.

Tetapi kedekatan itu sirna begitu saja ketika Vano lengser dari pemerintahan kampus dan Vano kembali melanjutkan perkuliahannya. Memasuki tingkat akhir di saat berkali-kali penelitiannya tidak di ACC oleh kampus, Dheo kembali hadir membangkitkan semangatnya yang sudah di ujung tanduk. Dheo menawarkan dirinya untuk siap membantu Vano hingga skripsinya diterima. Itu terbukti. Dengan catatan Dheo pula lah yang menjadi pembimbing skripsinya.

Tapi lambat laun, bantuan Dheo itu membawanya pada kenyataan jika ia harus berhadapan dengan seorang pria penyuka sesama jenis. Dheo membantunya karena menyukainya. Vano tidak pernah mungkin akan menerima Dheo. Jelas dunia sesama jenis adalah hal yang paling ia benci. Tapi kebencian itu justru menuntun Vano pada pesta yang di dalamnya justru orang-orang penyuka sesama jenis itu. Vano marah. Vano tidak terima. Ia menyalahkan Dheo atas keberadannya di pesta saat itu. Hingga kemarahan itu membuatnya seperti orang yang tidak punya nurani sama sekali ketika kemarin pagi dengan penuh nafsunya ia menyiksa Dheo di atas segala kesalah pahaman.

Vano merasa telah menjadi orang jahat. Paling tidak, kebenciannya terhadap dunia sesama jenis itu hampir melayangkan nyawa salah satu orang yang kini bersamanya. Vano sangat merasa bersalah atas perbuatannya.

Waktu sudah bergerak pada jam setengah enam lebih empat menit. Ia masih duduk di atas sejadah dengan mata terpejamnya memutar kembali rekaman itu berulang-ulang.

Love without DegreeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang