21 - CIUMAN PEMBUKTIAN

2.8K 238 23
                                    

Dheo memandang penasaran ke arah Vano di kursi. Percakapannya dengan Steve seharian ini masih membayangi pikirannya. Sambil menepuk-nepuk paha, dia mulai berbicara dengan sedikit gugup, "jadi, beneran gak ada apa-apa kan tadi siang antara kamu dengan Jerry?"

Vano mengernyit. Ia semakin sadar jika ada yang aneh dengan Dheo semenjak pulang dari pertemuan dengan temannya itu. Dari setelah shalat magrib berjamaah, Vano jelas sudah menceritakan semua yang ia lakukan di rumah seharian. Tentang kedatangan Jerry, hingga kebersamaannya dengan Jani termasuk bagaimana seorang Jani yang terus mencari tahu sosok Dheo seperti apa padanya. Dan dua jam telah berlalu dari sesi cerita itu hingga kini mereka sedang bersama menikmati tayangan komedi talkshow di televisi, tapi Dheo lebih banyak diam. Bukan sekedar diamnya yang jadi membuat Vano merasa aneh. Vano menyadari satu hal kalau Dheo berkali-kali menatap ke arahnya meski harus secara curi-curi pandang.

Kemudian Vano beranjak dari duduknya dan pergi ke dapur untuk mengisi ulang gelas minumnya yang sudah kosong. Selanjutnya, Vano meletakkan gelas yang kini sudah terisi itu di atas meja tepat di hadapan Dheo duduk. Tetapi, Vano tidak kembali menuju tempat duduknya semula. Ia justru mendekati Dheo. Seketika ia membungkukkan badannya dan menatap pacarnya itu dengan jarak yang sangat dekat. "Lo kenapa sih?" bisik Vano pelan.

Dheo setengah melotot. Ia kaget di atas rasa penasaran dan gugupnya itu. Jelas sekali kalau pertanyaan yang ia lemparkan pada Vano itu hanya sebatas basa-basi saja. Dheo hanya sedang penasaran setulus apa sebenarnya Vano mencintainya? Ia hanya ingin sekali lagi membuktikan kalau Vano menerimanya bukan atas dasar agar bisa lulus dari kampus saja. Lebih dari itu, Dheo ingin membuktikan pada Steve jika ia mampu membuat Vano betul-betul menerimanya karena perasaan sayang padanya.

"emmm... Van..." Dheo sedikit menarik kepalanya ke belakang.

Tapi Vano gak mau kalah. Vano bisa membaca kegugupan yang dialami kekasihnya itu. Maka dari itu Vano memajukan kepalanya sedikit lebih dekat dari sebelumnya.

"Kenapa lo terus-terusan nanya sesuatu yang sudah jelas lo udah tahu jawabannya" bisik Vano sedikit membuat Dheo ketakutan. "Gue udah jelasin dari tadi kalau gak ada yang terjadi antara Gue sama Jerry tadi siang" sambungnya.

"Van tunggu!" Dheo meletakkan tangannya di bahu Vano sedikit menahannya karena terus maju.

Vano pun berdiri tegap. "Jadi sebenarnya lo mau ngomong apa?" ia melipat kedua tangannya di atas dada.

"emm... gak ada..." dalih Dheo berusaha menyembunyikan kebohongannya.

"Yakin?" Vano mengangkat satu alisnya.

"anu... emm..."

Entah kenapa Vano seperi tergerak untuk melakukan sesuatu yang menurutnya harus segera ia lakukan. Paling tidak, dari hasil curhatannya selama berjam-jam bersama Jani harus bisa ia buktikan kalau dirinya betul-betul memiliki perasaan pada laki-laki di hadapannya itu.

Tekad Vano sudah bulat, sekalipun nantinya mungkin saja akan menjadi hal paling menjijikan dalam hidupnya, tetapi ia siap. Maka dengan segera Vano melepaskan lipatan tangannya. Selanjutnya, ia kembali membungkuk perlahan. Dirapatkannya lutut Dheo yang terbuka lebar dalam posisi duduk itu dengan kedua tangannya. Ada kilatan bingung yang Dheo pancarkan melalui sorotan matanya. Dan Vano mengerti sekali kenapa Dheo bisa bingung melihat sikap yang ia lakukan. Lalu dalam hitungan detik, Vano segara mendaratkan pantatnya di kedua paha Dheo. Pada akhirnya mereka benar-benar lebih dekat dari sebelumnya. Bahkan Vano hampir menempelkan dadanya di wajah Dheo.

Dheo menengadah menatap wajah Vano yang tersenyum kecil padanya. "Vano?" Dheo melotot sejadinya. Baru sekarang ia benar-benar melihat reaksi Vano yang seberani itu.

"Kenapa? Gak usah kaget gitu kali. Haha" ucap Vano pelan.

"Van. Gak lucu. Kamu kenapa..." Dheo salah tingkah. Diliriknya berbagai sudut ruangan untuk menghindari tatapan Vano.

Love without DegreeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang