Dalam hidup itu ada yang bisa dikontrol ada juga yang tidak. Kejadian demi kejadian datang silih berganti. Namun dari semua yang terjadi, yang jarang disadari sebenarnya kita selalu punya kebebasan dalam memaknai kejadian apa pun yang terjadi dalam hidup. Manusia itu adalah makhluk pembuat makna. Apapun kejadiannya, maknanya yang kita tentukan.Dalam pagi yang dingin ketika gerimis baru saja meneteskan air terakhirnya setelah hujan mengguyur Jatinangor sejak jam tiga pagi, Vano dengan selimut membalut tubuhnya sudah duduk di kursi ruang televisi. Menonton tayangan berita pagi ditemani secangkir teh hijau hangat. Sementara Dheo sudah sibuk mempersiapkan sarapan pagi yang lagi-lagi gak mau dibantu oleh Vano.
Salah jika sebenarnya Vano dianggap sedang menonton TV. Pada kenyataannya pikirannya tidak sedang berada bersama berita-berita itu. Ia justru mengalihkan pandangannya ke arah dapur. Melihat Dheo dari belakang dengan pikiran yang terus terpusat pada apa yang ia alami semalam ketika Dheo mengecup lehernya sebelum pergi meninggalkan kamar.
Ia mencoba memutar kembali kejadian demi kejadian yang terjadi dalam hidupnya semenjak mengenal Dheo. Gak terbesit sama sekali jika ia akan berada di rumah Dheo sekarang. Tapi rasa itu tidak bisa berbohong lagi. Kenyamanan hasil kebersamaan dengan Dheo yang cukup lama itu tak berhasil juga mengontrol dirinya sehingga membawanya pada bagian dari hidup Dheo.
Semuanya sudah terjadi. Datang begitu saja tanpa ia minta. Tugasnya sekarang adalah berusaha memaknai semua kejadian itu tidak sebatas pengalaman baru semata dalam hidupnya. Tapi bagian dari perjalanan hidup yang harus di-amin-i sebagai sebuah kebahagiaan hidupnya di suatu hari nanti.
Ya. Meski semuanya masih abu-abu sekarang. Tapi paling tidak, Vano akan berusaha mencobanya. Apalagi, ia merasa jika keputusannya menerima cinta Dheo belum sepenuhnya ia berikan. Buktinya jarak masih menjadi hal yang ia berikan pada kekasihnya itu.
"Van... sarapannya sudah jadi. Sini.." panggil Dheo dari dapur membuyarkan lamunan Vano.
Vano segera bangkit dan berjalan menuju dapur.
"Wah... Bikin apa nih?" Tanya Vano basa basi.
"Yang jelas sarapannya bukan nasi goreng. Karena aku lupa gak masak nasi semalem jadi gak ada nasi. Mau masak yang lain juga stok habis" jelas Dheo.
Kemudian Dheo menyajikan masakan itu di meja makan berukuran persegi yang gak begitu besar.
Ada dua roti gandum bakar dengan isian daging asap dan keju, kentang goreng lengkap dengan saus sambal dan saus mayonaise di sana.
"Ini sih bukan gak ada stok. Sarapan ala ala luar gini kan bahannya haha" ujar Vano.
"Seriusan. Hanya ini stok yang tersedia. Entar habis sarapan mau gak nemenin aku ke pasar buat belanja kebutuhan?" Dheo sedang menyeduh cokelat panas sebagai pelengkap menu sarapan mereka.
"Ke pasar?" Tanya Vano menatap ke arah Dheo.
"Iya.. kalau kamu mau itu juga. Tapi kalau gak juga gak apa-apa. Kamu di rumah aja"
"Jangan gitu dong. Aku mau banget nemenin kamu ke pasar. Lagian udah lama juga aku gak ke pasar" jawab Vano.
"Sip lah kalau begitu. Ayo duduk. Nih minumnya" Dheo menaruh gelas berisi cokelat panas itu dengan asapnya yang masih mengepul ke hadapan Vano.
Gak lama setelah itu mereka pun sudah siap untuk sarapan dan duduk saling berhadapan.
Kebaikan yang Dheo berikan pada Vano itu justru sedikit membuatnya tidak enak hati. Lagi-lagi Vano jadi terpikir soal semalam. Ia ingin sekali bilang pada Dheo jika ia sadar ketika Dheo menciumnya.
"Apakah cinta itu memerlukan kesabaran?" Tanya Vano tiba-tiba ketika sarapan baru saja dimulai.
"Kamu kayak belum pernah pacaran saja Van. Masa masih bertanya soal itu padaku" Dheo baru saja memotong roti miliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love without Degree
General FictionHighest Rank: No #2 - Dalam Kategori "Misteri" (Mei, 2018) ✔ "LOVE WITHOUT DEGREE" ADALAH SEBUAH CERITA KELUARGA, PERSAHABATAN, CINTA DAN MISTERI KEHIDUPAN YANG SEMUANYA DIBUNGKUS DALAM ALUR PLOT-TWIST BERLATAR TAHUN 2000-AN DAN TAHUN 90-AN. ✔...