☘️☘️☘️SEJAK menjadi anggota OSIS pertama kalinya saat kelas 8, pemikiran Kava terhadap organisasi semakin berubah. Tadinya, ia masuk ke dalam OSIS karena iseng dan bosan dengan hidup monotonnya saat SMP. Tapi seiring berjalannya waktu, timbullah rasa puas—baik ketika ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya dengan baik maupun ketika acara yang mereka buat berjalan dengan baik.
Sekarang, Kava ingin merasakan rasanya memiliki tanggung jawab pada suatu tugas atau suatu acara untuk kesekian kalinya. Itulah yang ia jelaskan pada Alvin—Ketua OSIS SMA Nusa Bangsa yang baru saja terpilih sekaligus kakak kelas Kava saat SMP—ketika melakukan sesi wawancara untuk bergabung di OSIS sekolah itu.
"Sebenarnya wawancara ini cuma untuk formalitas doang, Kav. Kamu bisa aja langsung aku terima, mengingat kinerja kamu yang bagus waktu SMP," ujar Alvin sebelum cowok itu melanjutkan pertanyaan-pertanyaan lain yang lagi-lagi berhasil dijawab dengan baik okeh Kava.
"Makasih Kak," ucap Kava ketika wawancara berakhir.
"Sama-sama. Jangan khawatir, kamu pasti keterima kok," kata Alvin, membuat senyum Kava semakin merekah.
Saking senangnya, ketika Kava bangkit dari duduknya, mejanya terdorong ke depan hingga menghantam perut Alvin pelan.
"Argh!" ringis Alvin sambil memegangi perutnya.
Beruntung, hanya ada Alvin, salah satu anggota OSIS yang berperan sebagai pengawas, dan dirinya yang berada di ruangan ini.
"Kenapa, Kak?" tanya Kava panik. Apa kakak kelasnya itu memiliki luka bekas operasi or something?
"Gak apa-apa. Abis jatoh kemaren, biasa lah cowok," ujar Alvin setelah terdiam beberapa saat.
"Ohh begitu," ucap Kava, tidak tahu ingin berkata apa.
"Ya sudah, pengumumannya hari Jumat. Jadi, jangan lupa kumpul di ruang OSIS buat pengumuman ya."
Kava mengangguk, lalu berjalan keluar meninggalkan ruang kelas yang dipakai untuk wawancara. Disana, sudah ada Marvel yang berdiri sambil memegang tasnya.
"Makasih," ucapnya ketika kekasihnya itu menyodorkan tasnya.
"Gimana tadi? Lancar?" tanya Marvel dengan tangan yang beralih menarik tangan Kava agar berjalan beriringan dengannya.
"Lancar dong!" jawab Kava mantap.
"Bagus, itu baru pacar aku."
Sepanjang perjalanan menuju parkiran, Marvel terlihat pendiam. Padahal biasanya, cowok itu memiliki berbagai macam topik seru yang dibicarakan.
"Kamu kenapa?" tanya Kava ketika Marvel sedang memasangkan helm untuknya. Hari ini, Marvel memang memilih untuk menggunakan motor vespa miliknya karena sudah lama tidak dipakai. Tapi, sebenarnya bukan itu masalahnya. Biasanya, Kava harus merengek agar kekasihnya itu mau memakaikan helm ke kepalanya.
"Gak apa-apa," jawab Marvel enggan.
"Kayak cewek aja ditanya kenapa jawabnya gak apa-apa!"
"Ya maaf."
"Kamu kenapa? Ayo cerita... cerita! Cerita! Cerita!"
"Gak sekarang. Tapi aku bakal cerita kalau waktunya udah tepat, okay?" Kava hanya mengangguk, lalu mengikuti Marvel yang sudah menaiki motor terlebih dahulu.
Perjalanan dari sekolah menuju rumah Kava memang tidak membutuhkan waktu yang lama. Tapi entah mengapa, banyak hal yang membuatnya ingin menangis sekarang. Marvel benar-benar berbeda siang ini. Biasanya ketika mereka berhenti karena lampu merah, Marvel akan menepuk-nepuk tangannya yang memeluk pinggang cowok itu. Tapi sekarang, kekasihnya itu hanya diam sampai lampu merah berganti menjadi lampu hijau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marvel
Teen FictionON GOING Kavarinne Zevanya Tahardja, perempuan dengan sejuta pesona, namun sudah memiliki kekasih yang bernama Marvellio Alpheratz Bagaskara. Kava merupakan remaja perempuan pada umumnya yang lebih suka menghabiskan waktunya dengan ponsel untuk memb...