Part 8 - Penolong

381 46 1
                                    




☘️☘️☘️

  JIKA urutan pertama manusia yang ditakuti guru-guru adalah pimpinan yayasan dan urutan kedua adalah Aslan selaku Ketua MPK, urutan ketiga yang sangat ditakuti oleh guru SMA Nusa Bangsa adalah Marvellio Alpheratz Bagaskara. Ya, Marvel—Marvel-nya Kava. Marvel memiliki peran begitu penting yang sama seperti pimpinan yayasan. Tidak perlu kata-kata pedas seperti Aslan untuk membuat guru resign. Hanya tinggal berdiskusi dengan Ayahnya tentang kinerja guru yang kurang baik, maka bersiaplah untuk say goodbye dengan pekerjaan mereka.

Buktinya, Pak Bagus yang melihat Marvel langsung merapihkan penampilannya walaupun semua itu adalah hal yang percuma. Tapi setidaknya, memberikan surat resign lebih baik daripada mendapatkan surat pemecatan.

"Jadi, kamu Ketua Radevilion, Marvel?" tanya Pak Bagus tidak percaya.

"Bukan Pak," jawab Marvel langsung. Hal itu tentu saja membuat Kava menghembuskan napasnya lega. Buset, jadi anggota aja Kava gak ngebolehin, apalagi jadi ketua?

"Lalu, kenapa kamu kesini?"

"Saya hanya tidak suka melihat Bapak menghukum siswa di jam pelajaran," ujar Marvel sambil mengecek jam tangannya. "Harusnya Bapak tinggal memberikan hukuman dan kapan mereka bisa mengerjakannya," lanjutnya.

Tatapan Marvel beralih kepada anggota Radevilion yang masih setia pada posisi setengah push up. "Bangun!" perintahnya.

Berbeda dengan Juna, Leon, dan beberapa anggota baris paling depan yang langsung berdiri, mayoritas anggota biasa masih setia pada posisinya hingga Juna menyuruh mereka berdiri.

"Silahkan tentukan waktu hukuman mereka dengan benar, Pak," ucap Marvel, masih dengan nada sopan.

"Baiklah, kalau begitu kalian bisa mengerjakan hukuman yang tadi saya minta ketika pulang sekolah," ujar Pak Bagus yang diangguki oleh seluruh anggota Radevilion.

  Kava yang masih bersembunyi di balik pohon tidak melihat ada yang aneh dari interaksi kekasihnya dengan anggota Radevilion. Tapi ketika melihat Juna menepuk lengan Marvel dan disambut ringisan pelan oleh cowok itu, Kava sontak berdiri tegap.

  Baru saja ia ingin melangkah menghampiri kekasihnya, lengannya di tarik oleh seseorang. Kava mengerjapkan kedua matanya ketika mendapati bahwa Aslan yang menarik tangannya dan menatapnya tajam.

  "Kenapa, Kak?" tanya Kava sambil melepaskan cengkraman tangannya dari cowok itu pelan-pelan.

  "Lo anak OSIS, kan? Kenapa keluar kelas?" tanya Aslan galak.

  Kava berdehem pelan, "Tadi ke toilet Kak," jawabnya, berusaha santai.

  "Baru dilantik aja udah berani cabut di jam pelajaran. Gak sekalian aja cabut dari OSIS?"

  Galak amat, cibir Kava dalam hati.

  "Nama lo siapa? Biar gue suruh Alvin buat nandain nama lo."

  Tentu saja Kava semakin panik mendengarnya. Masuknya dirinya ke OSIS itu sebagian besar dikarenakan kepercayaan Ketosnya itu. Jika Alvin tahu, mungkin cowok itu akan kecewa kepadanya.

  "Kenapa lo tanya-tanya nama cewek gue, Lan?"

  Kava mendongak dengan mendapati Marvel sudah berdiri di sebelahnya. Tangan laki-laki itu merangkul pundaknya, seakan menunjukkan pada Aslan bahwa mereka merupakan sepasang kekasih.

  "Oh, punya cewek juga lo ternyata. Denger, meskipun lo anak ketua yayasan atau presiden sekalipun, gue gak akan takut sama lo kayak guru-guru disini," ujar Aslan dengan tatapan tajamnya, lalu berjalan pergi meninggalkan mereka berdua.

MarvelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang