[10] Day 93

843 115 15
                                    

Tapi menurutku, kemungkinan 0,00001 persen bisa berubah menjadi 100 persen kalau kita sering menghabiskan waktu bersama baik disengaja maupun tidak disengaja. -aci.
.

Hari ke sembilan puluh tiga. Tak terasa tiga bulan lebih sedikit dalam menyukai Dirga telah ku lewati dengan perasaan yang masih terombang-ambing ini. Hari ke sembilan puluh tiga ini adalah dua hari sebelum persami—perkemahan Sabtu Minggu—digelar. Pertemuan informal antara aku dan sanggaku masih tetap berjalan sebagaimana mestinya. Ya, tentunya masih ada Dirga dan gitarnya yang menemani pertemuan itu.

Entah apa yang membuatnya tidak kapok-kapok setelah mendengar berbagai semprotan demi semprotan dari teman sekelasnya perihal nada gitar yang sumbang itu. Tapi di sisi lain, nada yang terdengar di telingaku seperti mengalun dengan indah. Entah karena aku sudah tertulikan dengan cintanya atau memang teman-temannya saja yang tidak bisa menilai.

Dua hari sebelum persami, itu artinya hari ini adalah hari Kamis. Dan di hari Kamis itu pula aku melihat Dirga yang masih berada di lapangan sekolah memegang raket bulu tangkisnya. Ya, di sekolahku memang ada ekstrakulikuler bulu tangkis, tapi yang aku tahu ekstrakulikuler ini masih jarang diadakan perlombaan.

Saat itu juga aku mulai memikirkan apa yang Dirga bisa. Dirga jago debat, Dirga bisa main gitar, Dirga bisa main bola volly, Dirga bisa main bulu tangkis, dan tentunya Dirga rajin ibadah. Haish, betapa sempurnanya dia. Sejujurnya, manusia pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya tersendiri, karena kesempurnaan hanyalah milik Tuhan. Aku juga belum bisa memastikan kalau Dirga memang sempurna, karena aku yang mungkin belum mengetahui titik kekurangannya. Umm, mungkin salah dua kekurangan Dirga yang aku tahu adalah dia terlalu cuek dan terlalu pasif.

Oke, mari lanjut pada cerita. Saat itu, Hana meminta anggotanya untuk berkumpul pada jam dua siang untuk membahas persami lebih matang lagi. Oh iya, aku akhirnya tidak jadi membawa barang yang se-abrek itu. Hana masih mau memberiku keringanan. Uhh, terima kasih Hanaaaa. Hehehe.

Hana memulai pertemuan jam dua tepat. Hana memang seorang anak yang disiplinnya tinggi, aku sangat suka dengan sifatnya yang itu. Hal yang di bahas dalam pertemuan kali ini adalah apakah semua anggota sudah mendapatkan apa yang harus dibawa atau belum. Kalau misal masih ada yang belum terpenuhi barangnya karena sulit mendapatkan—tidak ada yang menjual barang itu di sekitar tempat tinggalnya, Hana akan berusaha mencarikan saat itu juga. Ketua sangga yang baik bukan?

Dua jam pun berlalu, Hana memutuskan untuk mengakhiri pertemuan pada hari ini. Aku dan Rani yang berjalan berdua menuju parkiran sekolah. Aku yang saat itu sedang fokus ke ponsel, tiba-tiba lenganku di senggol oleh Rani. Aku menoleh ke arah Rani yang hanya membalas dagu yang di dorong ke depan sebagai tanda penunjuk. Akhirnya aku menangkap apa yang di maksud Rani, aku melihat Dirga yang sedang duduk di motornya sambil menggamit raket bulu tangkis karena kedua tangannya sibuk memainkan ponsel.

Syukurnya Dirga tidak menyadari keberadaanku dan Rani yang berada di satu tempat yang sama. Mungkin Dirga ada urusan yang mengharuskan dirinya untuk datang secepatnya. Apapun itu urusannya, semoga Dirga selamat sampai tujuan.

Aku bertanya pada Rani, apa benar Dirga menjadi anggota tetap ekstrakulikuler bulu tangkis. Rani hanya membalasnya dengan menaikkan kedua bahunya bersamaan. Huft, aku juga tidak bisa berpikir kalau saat itu Rani kan jarang mengetahui hal-hal tentang ekstrakulikuler yang berhubungan dengan olahraga.

Tapi masa iya aku harus bertanya lagi pada Fia setelah aku hampir tidak pernah lagi bertanya-tanya seputar Dirga padanya. Malam itu pula aku mulai memikirkan apa tindakan yang harus aku ambil setelah mengetahui Dirga mengikuti ekstrakulikuler bulu tangkis.

363 days of you [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang