363 days of you [✔]

[7] Day 53

Dia mungkin tidak tahu ada aku di sini yang selalu memperhatikannya. Dia mungkin juga tidak terlalu peduli akan berbuat apakah aku kepada dirinya. -aci.

.

Huft, gak kerasa ya udah sampai di hari ke lima puluh tiga. Itu artinya sudah hampir dua bulan aku menyukai Dirga. Tanpa adanya pergerakan sedikitpun dari Dirga.

Hmm sebenarnya aku bingung akan menceritakan apa di hari ke lima puluh tiga ini. Tidak ada yang menarik sebetulnya. Tapi Aurel menyarankan padaku untuk menceritakan hari ke lima puluh tiga. Entahlah apa yang membuat Aurel bisa berkata, ‘coba deh kamu ceritain di hari ke ini’. Selalu begitu. Tapi karenanya, aku jadi bisa memikirkan hal menarik yang sebelumnya tak ku ketahui pada hari itu.

Ada apa ya di hari ke lima puluh tiga. Sebentar aku coba pikir-pikir terlebih dahulu. OH! Aku ingat! Saat itu Dirga akan sholat dhuhur di mushala sekolah yang tepat berada di depan kelasku. Dan aku, hahaha ayo sini merapat, akan ku ceritakan apa yang terjadi pada diriku.

Jadi selama kurang lebih tiga minggu sejak hari ke lima puluh tiga. Aku selalu melakukan ritual ini. Hahaha, lucu sih kalau diingat-ingat kembali.

Sebelumnya aku selalu bodo amat tentang dunia luar, tapi saat Andin dan Rani mulai ramai dengan ocehan yang berbunyi, ‘Aci sini, liat deh ada Dirga tuh habis wudhu. Ganteng kan?’ mendengar pengakuan Rani tentang Dirga yang ganteng, aku jadi semakin ragu, apa Rani akan mengikutiku menyukai Dirga?

Perkataan Rani memang benar, Dirga terlihat lebih tampan saat rambutnya masih terdapat sisa air wudhu. Dan saat sholat, dia juga terlihat sangat gagah. Hmm, sayangnya aku dan Dirga berbeda. :)

Oke, ayo kita mulai. Jadi, saat Rani selalu memberi tahuku bahwa ada Dirga di mushala, aku langsung menempatkan diri di jendela untuk mengintip Dirga yang—ugh—dua kali lebih tampan dari biasanya. Dia mungkin tidak tahu ada aku di sini yang selalu memperhatikannya. Dia mungkin juga tidak terlalu peduli akan berbuat apakah aku kepada dirinya. Seketika juga aku iri dengan perempuan yang bisa mengisi hatinya. Tapi kata Dilan, iri itu hanya untuk orang yang tidak percaya diri dan sekarang aku sedang tidak percaya diri. Umm, maksudku kata Dilan itu cemburu, bukan iri.

Dilan dan Dirga. Rasanya lucu saat membayangkan Dirga menjadi seorang Dilan yang penuh kegombalan. Tapi Dirga adalah Dilan dari sudut pandangku sendiri. Dirga menunjukkan kegombalannya dengan caranya sendiri. Entah apapun itu, aku menyebutnya dengan gombalan sang pengeran bulan.

Hampir setiap hari aku mengintip Dirga yang akan menuju mushala di balik jendela kelasku. Kalaupun ada beberapa hari yang absen tidak mengintip Dirga, aku memiliki beberapa alasan. Satu, hari itu adalah hari Minggu. Dua, kelasku istirahatnya telat. Atau tiga, Dirga yang akan sholat dhuhur belakangan. Umm, tambahkan empat, saat Dirga sholat di mushala yang berada di luar sekolah.

Oh Tuhan, aku sampai hafal dengan gerak-gerik Dirga dan segalanya tentang Dirga pun aku hampir hafal. Coba suruh Gita untuk menyebutkan hal-hal yang dia ketahui tentang Dirga, pasti semuanya aku tahu, dan mungkin juga aku masih bisa menambahkan beberapa hal yang mungkin Gita lupa atau memang tidak diketahui oleh Gita.

Dua hari setelahnya, lagi-lagi Rani membuat ulah yang benar-benar memalukan untuk diriku. Entah apa yang ada di pikiran Rani saat itu, aku juga tidak paham. Mungkin Dirga memang sudah tahu kalau aku menyukai dirinya, tapi ya tidak usah disebarkan pada seluruh siswa yang tengah menginjakkan kaki di mushala. Hish, aku jadi berpikir ulang untuk memaafkan Rani lagi.

Jadi begini, saat itu Andin dan Rani akan pergi ke kantin tapi mereka menunggu kondisi mushala sepi atau sudah mulai berjamaah sholat dhuhur. Rani menanti kondisi sepi itu di depan pintu kelasku dan sambil bergelayutan pada pintunya. Kalian bisa membayangkan kan?