[3] Day 29

1.8K 221 96
                                    

Tapi saat ini aku berpikir, bukankah terlalu sulit untuk menggapai pengandaian tanpa
adanya usaha? -aci.
.

Ini adalah hari dimana aku mulai keluar dari zona ‘diam’ku. Bukannya aku tidak sabar, tapi ada suara dari hatiku yang mengatakan “Oh ayolah, Ci. Kamu harus bergerak, jangan diam saja. Bagaimana dia akan tahu perasaanmu kalau kamu hanya terus-terusan diam saja di tempat. Perempuan tidak selamanya harus diam menunggu, tapi ku ingatkan jangan terlalu agresif, Ci. Bisa-bisa dia ilfeel kepadamu.” Ya, itu memang suara—mungkin hanya ilusiku saja—yang datang padaku.

Bagaimana dia akan tahu perasaanmu kalau kamu hanya terus-terusan diam saja di tempat. Satu kalimat yang selalu berputar dalam otakku setelah beberapa lama ini aku menyukai dirinya—Dirga. Kalau dipikir-pikir memang ada benarnya juga. Bagaimana Dirga tahu kalau aku menyukai dirinya, padahal di sini aku hanya diam saja menunggu pernyataan dari dirinya. Tapi, aku sendiri kan perempuan?

Perempuan tidak selamanya harus diam menunggu, tapi ku ingatkan jangan terlalu agresif, Ci. Ah, lagi-lagi suara itu yang bergema dalam otakku. Perempuan memang tidak selamanya diam, dia boleh menyatakan perasaannya. Apalagi di jaman sekarang sudah ada emansipasi wanita atau—anak gaul menyebutnya dengan nama—persamaan derajat antara perempuan dengan laki-laki. Tapi aku terlalu malu untuk keluar dari zona ‘diam’ku.

Hening. Tidak ada lagi suara yang bergema di dalam otakku. Yang ada hanyalah suara pergantian menit demi menit pada jam dinding di kamarku yang menemani malam sunyiku. Apa cara yang pas untuk menjawab pertanyaanku tadi? Aku masih berusaha mencoba untuk menemukannya secara perlahan.

Saat ini jam di ponselku menunjukkan angka 23:17 dan aku belum tidur sejak pulang sekolah tadi. Selama itu aku hanya memikirkan apa yang harus kulakukan agar Dirga ‘melihatku’. Andai saja aku satu kelas dengan Dirga, aku jadi mudah untuk menjadi teman dekatnya. Mungkin saja kan?

Tapi pengandaianku hanyalah pengandaian semata. Tapi saat ini aku berpikir, bukankah terlalu sulit untuk menggapai pengandaian tanpa adanya usaha? Dan aku memutuskan untuk melakukan suatu usaha esok hari. Di sisa-sisa malamku, aku hanya berdoa pada Tuhan agar aku berhasil menggapai apa yang aku andaikan.

♤♤♤

Sinar matahari dan suara ketukan pintu kamarku yang diketuk ibu seakan menjemputku dari mimpi indah yang kualami di dalam otakku. Tak terasa waktu berjalan secepat ini, rasanya baru tadi malam aku memutuskan sesuatu hal yang bisa dibilang terlalu nekat untuk cebol sepertiku ini. Tapi saat ini jam dindingku memang menunjukkan jarum pendek di angka 5 dan jarum panjang di angka 4.

Suara ibuku yang berusaha membangunkanku masih terdengar di balik pintu kamarku. “Aci, ayo bangun. Sudah jam 7 ini.” Hm ya, itu adalah cara ampuh bagi ibu-ibu yang memiliki anak yang susah bangun dari tidurnya. Tapi bisa jadi kalau terlalu sering seperti itu lama-lama anak akan terbiasa dan membuatnya mengulur waktu dengan pikiran ‘ah pasti ibu bohong lagi.’ Kelak, uluran waktu itu akan berubah menjadi petaka saat para ibu mengatakan waktu yang sebenarnya.

Aku segera membuka pintu untuk membuktikan pada ibu kalau aku sudah bangun dari mimpi indahku. Tak butuh waktu lama untuk mandi dan sarapan bagiku, karena aku bukanlah anak yang terlalu suka dengan kata ‘lelet’.

Seperti biasa—jam 07:00—aku sudah bersiap untuk bertemu pangeran bulanku, ehm maksudku Dirga.

Saat di perjalanan, aku mulai menimbang-nimbang lagi keputusanku untuk keluar dari zona ‘diam’ yang selama ini kududuki. Aku terlalu takut apabila Dirga semakin menjauhiku karena tindakan yang menurutku masih wajar. Tapi, aku mencoba untuk memikirkan kemungkinan terbaik yang akan terjadi pada hubungan antara aku dan Dirga nantinya. Sayangnya, hal itu selalu gagal.

363 days of you [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang