Chapter 4
.
.
.
Hari sudah menjelang sore, udara musim gugur menjadi semakin dingin. Sementara orang-orang sibuk merapatkan mantel mereka, ibu dan anak yang berjalan sambil bergandengan tangan itu lebih memilih bergulat dengan kecamuk di pikiran mereka masing-masing. Tidak ada sepatah katapun yang keluar, masing-masing hanya berjalan dengan mulut tertutup rapat dan pandangan kosong.
Jeno terdiam, kepalanya terus ia tundukkan semenjak ia keluar dari ruangan Dokter Park. Disampingnya ada sang ibu yang juga sedang diam seribu bahasa dan berjalan sambil mengenggam tangannya erat. Tangannya bergetar, begitupula tangan ibunya. Sekalipun sedang menggenggam tangannya erat, tapi getaran dintangan ibunya tetap dapat ia rasakan.
Pikiran Jeno berkecamuk, perasaannya benar-benar tak karuan. Andai saja tadi ia tak memaksa untuk ikut masuk dan mendengarkan pembicaraan Dokter Park, pasti ia tak akan merasa seperti sekarang ini. Jeno sungguh ingin memungkiri semua yang didengar tadi, ia berharapa semua yang dikatakan Dokter Park tadi hanyalah sebuah kebohongan. Tapi sayang, ia juga tahu bahwa seorang dokter tidak akan berbohong mengenai kondisi pasiennnya.
Leukimia stadium 2, dan sialnya sel kanker yang ada ditubuhnya adalah sel kanker ganas yang siap membunuh kapan saja.
Sejak kapan penyakit kejam itu bersarang ditubuh Jeno?
Jeno pikir leukimia hanya ada di drama, film, maupun novel saja. Jeno tidak pernah berpikir bahwa penyakit itu akan hadir dalam kehidupannya dan siap untuk merengut nyawanya kapanpun. Sebenarnya, Jeno tak masalah jika ia harus sakit. Hanya saja, ia takut jika penyakitnya kelak akan membuat keluarga mereka terbebani. Kemoterapi dan obat-obatan pasti tidak murah harganya, darimana ibu akan mendapatkan uang sebanyak itu?
Hanya ada satu donatur bagi panti mereka, itupun jumlahnya hanya cukup untuk membayar keperluan rumah mereka. Ibu mereka hanya memiliki kedai kecil, walaupun bisa dibilang cukup ramai, tetapi tetap saja tidak akan mencukupi segala biaya pengobatan Jeno nantinya. Belum lagi dengan anak-anak yang lain.
Jeno juga tidak ingin sekolah saudara-saudaranya yang lain terganggu akan masalah biaya karena dirinya. Memang hampir semua dari mereka bersekolah dengan mengandalkan beasiswa, kecuali Renjun dan Chenle. Tapi terkadang sekolahpun membutuhkan biaya tambahan untuk keperluan lainnya. Lalu jika nanti uangnya digunakan untuk pengobatannya, bagaimana dengan yang lain?
Kenapa kau begitu merepotkan, Jeno?
Keheningan di antara mereka terpecahkan oleh suara isakan pelan seorang wanita. Mengerti siapa pemilik isakan itu, Jeno mengangkat kepala dan menatap sumber suara.
"Eomma.." panggilnya pelan sambil menatap sang ibu. Air mata mengalir di pipi tirus sang ibu.
"Kau baik-baik saja kan, sayang?" Nyonya Kim menghentikan langkahnya dan menatap Jeno. Jeno bisa melihat sebuah kesedihan yang begitu hebat dimata ibunya.
Jeno tersenyum tipis, lalu menundukkan kepalanya kembali.
'Baik-baik saja'?
Bagaimana bisa ia menjawab pertanyaan semacam itu?
"Menagislah Jeno-ya, menangislah kalau kau ingin menangis. Tidak akan ada yang menyalahkanmu jika kau menangis" Nyonya Kim merengkuh Jeno ke dalam pelukannya. Dan seketika suara isakan kecil dari remaja laki-laki 16 tahun pun mulai terdengar.
Isakan Jeno memang tidak terdengar keras, tetapi tubuhnya bergetar hebat di pelukan Nyonya Kim. Wanita paruh baya itu semakin mengeratkan pelukan, air mata semakin deras mengalir dari matanya. Ia memang bukan ibu kandung Jeno, tapi sebagai orang yang membesarkan Jeno sejak ia masih bayi membuatnya mengerti tentang bagaimana Jeno dan juga perasaannya. Bukan hanya Jeno, ia juga selalu berusaha untuk mengerti bagaimana perasaan putra-putranya yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
WARM HEART
FanfictionJangan mengharapkan sebuah romansa indah dalam cerita ini. Karena yang akan kalian temukan hanyalah sebuah cerita dengan alur pasaran, serta kisah tentang cinta dan kasih sayang tulus dari sebuah keluarga. Tidak ada bagian yang membuat jantung kalia...