Chapter 12

1.8K 239 43
                                    

CHAPTER 12

.

.

.

Jeno duduk termenung di tempat. Mata sipit remaja itu menatap lurus ke tengah lapangan, dimana teman-teman juga Jaemin sedang dengan semangat bermain voli. Saling melempar dan memukul bola, tertawa ketika berhasil mencetak poin dan menggerutu ketika mereka kehilangan poin. Terkadang Jeno tertawa sendiri dibuatnya. Jeno sendiri pun juga ingat betapa menyenangkan permainan itu.

Andaikan saja dirinya masih sesehat dulu, ia pasti akan menjadi salah satu bagian dari permainan itu.

Andaikan saja penyakit ini tidak bersarang di tubuhnya, ia pasti bisa melakukan apapun yang ia inginkan.

Jeno suka olahraga, sangat suka. Bahkan teman-temannya bilang kalau kemampuan olahraga Jeno terbaik kedua setelah Jaemin. Jeno paling suka bermain tenis meja melawan Jaemin ketika ada waktu luang, kemampuan mereka hampir setara. Mereka biasanya akan sejenak singgah di ruang olahraga untuk bermain tenis meja atau terkadang bermain basket. Bahkan Haechan juga beberapa kali bergabung kalau ia sedang tidak ada latihan vocal.

Sekarang ia bahkan tidak akan mungkin bisa melakukan hal-hal itu lagi, kelelahan sedikit saja ia bisa mimisan bahkan pingsan. Semua hanya tinggal kenangan belaka, kenangan yang menyenangkan.

Jeno yang sekarang berbeda. Bukan hanya berbeda secara kekuatan fisik saja, bahkan penampilan pun terlihat berbeda. Jeno yang sekarang terlihat kurus, kulit putihnya sekarang selalu terlihat pucat dan kering, jangan lupakan rambut yang mulai rontok perlahan karena kemoterapi hingga ia terpaksa menutupi dengan beanie yang Jungsoo belikan. Kata teman-teman, sekarang ia terlihat aneh. Jeno sendiri pun berpikir seperti itu, walaupun kata keluarganya ia masih tetap tampan.

Jujur saja, terkadang Jeno merasa frustasi akan penyakitnya. Ia tidak suka penyakit yang membatasi dirinya untuk melakukan berbagai macam hal. Ia tidak suka penyakit yang membuatnya harus meminum begitu banyak obat-obatan yang membuat mual. Ia tidak suka kemoterapi yang efeknya begitu menyakitkan juga jarum-jarum suntik yang entah sudah keberapa kali menembus kulitnya. Ia ingin lari untuk menghindari segala hal-hal menyakitkan itu. Tapi jika ia berlari, maka itu artinya ia menyerah. Dan menyerah adalah hal yang dilakukan oleh seorang pengecut. Setidaknya ia harus berjuang terlebih dulu, tanpa peduli seperti apa hasilnya nanti. Biarkan Tuhan yang mengatur semua.

Tidak, Jeno tidak ingin menyerah. Jeno tidak suka menjadi pengecut. Jeno ingin sembuh dan ia harus sembuh.

Ia ingin membahagiakan eomma Kim dan juga saudara-saudaranya. Ia ingin melihat saudara-saudaranya tumbuh bersama dan meraih kesuksesan mereka masing-masing. Jeno selalu ingin merasakan kebahagiaan yang sama ketika melihat mereka bahagia. Jeno juga ingin melihat sepupunya jika suatu hari nanti Jungsoo memiliki anak.

Dan juga, ia sudah menemukan keluarganya. Keluarga yang sesungguhnya, yang selalu ia impikan. Bukan berarti Jeno tidak bersyukur menemukan keluarga seperti eomma Kim dan juga saudara-saudaranya, Jeno tentu sangat mensyukuri hal itu. Tetapi bertemu dengan keluarga kandungnya adalah bonus kebahagiaan tersendiri dari Tuhan untuknya. Ia bersyukur bertemu dengan Jungsoo-samchon yang begitu baik, juga Sora-imo yang cantik dan lembut. Ia juga bersyukur bisa melihat wajah kedua orangtuanya walau hanya lewat foto.

Begitu banyak hal yang bisa disyukuri, maka menyerah sama sekali bukan pilihan.

Andai saja ia juga bisa bertemu dengan kakek-neneknya.

Kebiasaan manusia, selalu menuntut lebih.

Tapi Jeno sangat ingin bertemu dengan kakek-neneknya. Jeno ingin melihat wajah mereka barang sekali. Sekalipun kelak ia akan dibenci atau bahkan tidak diterima, seperti mereka menolak kehadirannya dan ibunya dulu, Jeno akan baik-baik saja. Toh itu memang salahnya. Salahnya yang hadir di waktu yang tidak tepat dan merusak kebahagiaan ayah dan ibunya. Jeno akan meminta maaf, meminta maaf akan segala kekacauan yang telah ia timbulkan dulu.

WARM HEARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang