CHAPTER 9
.
.
.
"Jeno!"
"Hyung!"
Mark yang sedang duduk bersantai di rumah bersama dengan Chenle dan Jisung memekik kaget ketika Jungsoo tiba-tiba menerobos masuk pintu rumah mereka dengan Jeno yang berada dalam gendongannya. Terlebih lagi mata Jeno terpejam dan wajah yang pucat pasi, membuat mereka semakin panik.
Mark bangkit dari duduknya dan menghampiri Jungsoo.
"Dokter Park, ada apa dengan Jeno? Adikku baik-baik saja kan?"
Jungsoo tersenyum dan mengangguk.
"Bisa kau tunjukkan padaku dimana kamar Jeno?"
Mark mengangguk dan sedetik kemudian berjalan tergesa ke arah kamar mereka diikuti oleh Jungsoo dan juga kedua adiknya. Tak lupa ia menunjukkan pada Jungsoo yang mana kasur Jeno agar pria itu bisa segera membaringkan Jeno.
Dengan perlahan Jungsoo membaringkan tubuh Jeno. Ia mulai mengeluarkan stetoskop dari balik jasnya dan memeriksa kondisi Jeno. Setelah dirasa cukup, ia menarik selimut dan menutupi tubuh Jeno sebatas dada.
"Dia hanya kelelahan dan sedikit tertekan, tapi ia baik-baik saja"
Mark mengehelas nafas lega, ia melirik kedua adik kecilnya yang sedari tadi berdiri mematung disampingnya.
"Jeno hyung baik-baik saja, kalian jangan khawatir"
Jungsoo mengusap kepala kedua bocah itu dengan lembut, mencoba menenangkan.
"Dokter Park, sebenarnya apa yang terjadi pada Jeno?"
Jungsoo tersenyum lembut.
"Hyung akan menjelaskan semua padamu, tapi tidak disini"
-
"Sudah bangun?"
Yang pertama kali Jeno lihat setelah membuka mata adalah Mark yang sedang duduk disamping tempat tidur dengan senyuman khasnya, membuat Jeno kebingungan.
Bukankah tadi ia sedang bersama Jungsoo?
"Hyung?"
Suara Jeno terdengar begitu serak. Mark meraih air putih di atas nakas dengan tangan kanan, lalu dengan tangan kiri ia membantu adiknya duduk agar lebih mudah untuk minum.
"Mark hyung.."
Jeno menatap Mark dalam, dan Mark mengerti apa arti tatapan itu.
Mark bisa melihat ada berjuta makna dalam tatapan Jeno. Rasa sedih, lelah dan juga kebahagiaan bercampur menjadi satu dalam mata sendu Jeno.
Mark tersenyum, tangannya mulai mengelus surai hitam Jeno dengan penuh sayang.
"Dokter Park, pamanmu, ia sudah menceritakan semua padaku. Walau mungkin tak sebanyak yang ia ceritakan padamu, tapi hyung mengerti"
Jeno terdiam, tidak tau harus bagaimana menanggapi Mark.
"Jeno-ya, bisakah kau ceritakan pada hyung bagaimana perasaanmu saat ini?"
Hening.
Tidak ada sahutan dari Jeno.
Bocah itu justru menundukkan kepalanya.
"Ah, tidak apa kalau tidak mau ber-"
"Aku tidak tau, hyung.." Jeno menyela kalimat Mark.
Mark terdiam, menunggu Jeno melanjutkan kalimatnya.
".. aku tidak harus merasa bagaimana. Aku tidak tau harus merasa sedih atau bahagia. Aku menemukan keluargaku, dan fakta bahwa mereka telah lama mencariku membuatku bahagia. Tapi orangtuaku.. mereka berdua sudah tiada, aku hanya bisa melihat mereka lewat foto. Aku ingin memeluk mereka, ingin sekali mengatakan bahwa aku merindukan mereka dan berterimakasih karena telah membawaku hadir di dunia, namun sayangnya aku tak akan bisa"
Satu per satu air mata Jeno mulai berjatuhan, punggung kurus Jeno mulai bergetar karena tangis. Walau tak mengeluarkan sedikitpun suara tangisan, tapi Mark cukup mengerti akan apa yang sedang Jeno rasakan.
Jeno anak yang kuat, jarang sekali menunjukkan sisi lemahnya. Namun saat ini bocah itu terlihat begitu rapuh. Jadi Mark hanya terdiam sembari mengelus tangan sang adik pelan, membiarkan bocah itu menangis untuk meluapkan segala beban yang ia pikul.
.
.
.
"Bagaimana? Kau sudah berbicara pada Jeno?"
Jungsoo melepaskan jasnya dan memberikan jas itu pada sang istri yang tadi menyambutnya saat memasuki rumah dan kemudian mengekori Jungsoo hingga ke ruang keluarga.
Jungsoo mengangguk menanggapi pertanyaan sang istri. Ia mulai mendudukkan diri di atas sofa, menyandarkan kepala pada punggung sofa dan menutup mata. Sungguh tubuhnya lelah sekali hari ini, begitu pula mentalnya. Pikiran Jungsoo pun berkecamuk.
Sebagian dari hatinya merasa lega karena telah mengatakan semua, terutama pada Jeno. Jeno anak yang baik, Jungsoo yakin bocah itu akan mengerti akan apa yang terjadi.
Jika saja Jungsoo adalah Jeno, Jungsoo tak yakin akan selapang dada itu. Jika saja ia adalah Jeno, Jungsoo pasti akan mengumpat. Anak yang terlahir diluar nikah, keluarga sang ayah menentang dan kemudian memisahkan orangtuanya, membuat ibunya menderita bahkan hingga meninggal dan membuatnya harus menjadi anak panti asuhan. Wajar sekali jika seorang anak tak berdosa marah jika mengetahui kenyataan seperti itu.
Namun Jeno berbeda. Bocah itu sama sekali tak menunjukkan raut muka marah ataupun kecewa, bahkan tak ada satupun kata makian yang meluncur dari mulutnya. Bocah itu hanya menangis, sambil berucap bahwa ia bahagia.
"Yeobo.."
Panggilan lembut sang istri menyadarkan Jungsoo dari lamunannya, membuatnya membuka mata dan menatapa wanita cantik yang kini sedang duduk di sampingnya.
"Dia benar-benar mirip dengan Donghae. Mata, bibir, bahkan senyumnya benar-benar mirip dengan Donghae. Hatinya pun lembut, sama seperti almarhum adikku"
Wanita itu –Sora- tersenyum lembut. Ia memang belum pernah bertemu dengan Jeno, tapi ia bisa membayangkan seperti apa keponakannya itu dari cerita-cerita sang suami. Dan menurutnya Jeno itu luar biasa.
"Lalu apa rencanamu? Apa kau akan membawanya bertemu ibu?"
Kali ini tubuh Jungsoo menegang. Ia sama sekali tak memberitahu ibunya bahwa ia mencari putra Donghae, ibunya tak tau apapun akan keberadaan Jeno, cucu satu-satunya.
Melihat reaksi Jungsoo, Sora mengerti jawabannya. Diraihlah tangan sang suami, lalu ia genggam dengan lembut.
"Cepat atau lambat kau harus membawa Jeno pada ibu"
Jungsoo mengangguk. Ia mengerti maksud istrinya. Tak mungkin ia menyembunyikan keberadaan Jeno. Sekalipun dulu kehadiran Jeno tak diinginkan, setidaknya sang ibu harus tau bahwa ia memiliki cucu laki-laki yang tumbuh dengan begitu luar biasa.
"Apa menurutmu ibu akan menerima Jeno? Aku takut ibu menolak kehadiran Jeno dan menyakiti putra adikku"
Sora mengangguk.
"Tentu saja, yeobo. Ibu pasti akan senang. Kau tau kan ibu sangat menginginkan seorang cucu?"
Tapi entah cucu seperti apa yang diinginkan ibu mertuanya, Sora sendiri sebenarnya tak begitu yakin.
"Bagaimana jika ibu menolak kehadiran Jeno?"
"Yeobo, kau bahkan belum mencoba. Ibu orang yang baik, beliau bukan orang yang seperti itu"
Jungsoo menatap istrinya penuh sayang, lalu mengangguk sebagai jawaban.
Ya, setidaknya ia harus mencoba.
.
.
.
TBC~
Maaf ya kalau pendek, idenya mentok segitu aja :D
Ditunggu vomentnya yaaa~~ :3
Thankyou.
KAMU SEDANG MEMBACA
WARM HEART
FanfictionJangan mengharapkan sebuah romansa indah dalam cerita ini. Karena yang akan kalian temukan hanyalah sebuah cerita dengan alur pasaran, serta kisah tentang cinta dan kasih sayang tulus dari sebuah keluarga. Tidak ada bagian yang membuat jantung kalia...