"Eomma?"
Nyonya Kim menghentikan kegiatannya, mengalihkan perhatiannya pada sosok kecil yang baru saja memasuki kamar dan sekarang berjalan mendekati. Mata bocah itu membulat dengan kening mengerut, lalu tangannya mulai mengambil beberapa pakaian yang berada di atas kasur dan mengamatinya.
"Bukankah ini pakaian Jeno hyung?" bocah itu bertanya, ia menatap ibunya dengan sorot mata penuh tanya.
Nyonya Kim mengangguk, tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
"Eomma, kenapa memasukkan pakaian Jeno hyung ke dalam koper?" merasa tak mendapat jawaban, bocah itu mulai menggoyangkan lengan ibunya.
"Eomma akan pergi dengan Jeno hyung?"
Mata yang penuh tanya itu kini mulai berair. Bahkan bibirnya mulai bergetar.
"Jisung-ah.."
Nyonya Kim mengganti posisi berdirinya menjadi jongkok, menyamakan dengan tinggi putranya. Ia memegang pundak Jisung, menatap bocah itu dengan tatapan yang sulit di artikan.
"Eomma akan pergi bersama Jeno hyung?" setetes air mata lolos dari mata sipit Jisung.
Nyonya Kim menggeleng, sedikit memaksakan senyum. "Eomma tidak akan pergi kemanapun, sayang"
"Jeno hyung juga?"
Wanita itu kembali terdiam, tidak tahu harus menjawab apa dan bagaimana akan menjelaskannya pada bocah 7 tahun itu. Ia mengerti seperti apa putra kecilnya itu. Bocah itu jauh lebih dekat dengan Jeno dibandingkan dengan dirinya dan juga lebih sering meghabiskan waktubersama sang hyung dibandingkan dengan dirinya.
Sejak kecil tumbuh dengan kasih sayang Jeno sungguh membuat bocah itu begitu bergantung pada hyungnya. Bahkan ketika Jeno sedang perjalanan kemah musim panas pun bocah itu selalu saja menangis dan bertanya kapan Jeno akan pulang, walaupun hanya dalam hitungan hari.
Jika saja ia tidak memikirkan perasaan putra kecilnya itu, tentu ia sudah mengatakan lebih awal bahwa hyungnya itu sekarat dan keluarganya akan membawa sang kakak ke Jepang untuk berobat tanpa tahu kapan akan kemballi bersama mereka. Jika saja ia mengatakan hal seperti itu pada Mark, Haechan, Jaemin maupun Renjun, tentu mereka akan mengerti. Tapi ini Jisung. Bocah itu bahkan baru saja naik ke kelas 2 sekolah dasar dan juga satu-satunya orang yang begitu bergantung pada Jeno, bagaimana bisa ia mengatakan hal semacam itu?
Bahkan Chenle yang baru bertemu Jeno beberapa tahun saja sempat menangis ketika Renjun memberitahu akan hal ini tadi pagi.
Ia adalah seorang ibu.
Ibu mana yang tega menyakiti hati anaknya?
"Jisung-ah. Jisung ingin Jeno hyung sembuh kan?" tanya Nyonya Kim lembut.
Jisung mengangguk dan mengusap air matanya.
"Eung! Jisung sedih melihat Jeno hyung sakit, Jisung ingin Jeno hyung sembuh"
"Halmeoni akan menyembuhkan Jeno hyung, boleh kan jika halmeoni membawa Jeno hyung pergi?"
Bocah itu sedikit tersentak, namun sedetik kemudian ia kembali menatap ibunya dengan tatapan bertanya.
"Besok, halmeoni akan membawa Jeno hyung ke Jepang. Jeno hyung akan sembuh disana, tidak apa-apa kan jika Jeno hyung pergi?"
Jisung terdiam. Dia hanya bocah 8 tahun yang tentunya tidak akan mudah menggunakan akalnya pada saat seperti ini, bocah seusianya lebih mementingkan perasaan dibanding pikirannya. Bocah itu bingung, tidak tahu bagaimana harus menjawab ibunya.
Ibunya bilang Jeno hyung akan dibawa pergi agar hyungnya itu bisa sembuh, tapi Jisung tidak suka mendengar itu. Jisung tidak suka mendengar kalimat bahwa Jeno akan pergi, dia tidak ingin berpisah dengan Jeno. Lagipula Samuel bilang bahwa Jepang itu jauh, sangat jauh sampai harus menaiki pesawat untuk sampai kesana.
Tapi ibunya bilang bahwa hyungnya akan sembuh, hanya bagian itu yang Jisung suka.
"Kenapa Jeno hyung harus dibawa pergi?" mata Jisung membulat, dengan mata yang berkaca-kaca ia menatap ibunya.
Nyonya Kim menelan ludah. Tatapan putranya penuh akan pertanyaan, ada sorot kesedihan dalam mata putra kecilnya.
"Sayang.. Jeno hyung akan sembuh disa-"
"Jeno hyung tidak boleh pergi! Jangan bawa Jeno hyung pergi!"
Nyonya Kim bahkan belum menyelesaikan kalimatnya ketika Jisung tiba-tiba saja menghempaskan tangannya dan berteriak keras, yang sedetik kemudian bocah itu mulai terisak.
"Sayang.." Nyonya Kim mencoba meraih tubuh putranya, namun Jisung lebih memilih menghindar. Isakannya pun semakin menjadi, membuat sang ibu kebingungan.
"Aku mohon –hiks- jangan bawa –hiks- Jeno hyung pergi –hiks"
"Jangan menangis, sayang. Bukankah Jeno hyung tidak suka anak cengeng?" ucap Nyonya Kim lembut, selembut mungkin agar membuat putra kecilnya tenang. Diraihnya tangan Jisung dengan lembut agar bocah itu kembali dekat dengannya.
Isakan Jisung berhenti. Nyonya Kim mengernyit.
"Kalau Jisung..hiks.. berjanji tidak..hiks.. cengeng, Jeno hyung ..hiks tidak jadi.. hiks pergi?"
Nyoya Kim tidak bisa menjawab. Bukan tidak bisa, namun tidak mampu. Anak itu begitu tidak ingin kehilangan hyungnya.
"Jisung, sayang.." ia merengkuh Jisung ke dalam pelukannya. Pertahanan Nyonya Kim runtuh, air mata mulai mengalir deras dari matanya.
"Jisung sayang..hiks Jeno hyung. Jangan bawa.. hiks Jeno hyung.. hiks pergi"
Nyonya Kim merengkuh putra kecilnya erat, menangis bersama dalam keheningan malam.
Ia berharap semua yang terjadi hanyalah mimpi. Ia berharap ketika ia terbangun nantinya ia hanya akan menemukan kebahagiaan. Setiap pagi membangunkan putra-putranya dan menyiapkan sarapan untuk mereka, mengecup kening mereka yang sedang tertidur dan melihat mereka tumbuh setiap harinya. Rasanya itu cukup untuk membuatnya bahagia.
Tapi, bukankah Tuhan selalu punya rencana terbaik dibalik setiap hal yang terjadi?
.
.
.
TBC~
Pendek ya?
Sengaja akutuh..hehehe
Terimakasih banyak ya buat 5k votesnya ( ◜‿◝ )♡
Thankyou.

KAMU SEDANG MEMBACA
WARM HEART
FanfictionJangan mengharapkan sebuah romansa indah dalam cerita ini. Karena yang akan kalian temukan hanyalah sebuah cerita dengan alur pasaran, serta kisah tentang cinta dan kasih sayang tulus dari sebuah keluarga. Tidak ada bagian yang membuat jantung kalia...