Chapter 11

2K 251 23
                                    

CHAPTER 11

.

.

.

Renjun baru saja akan melangkahkan kaki memasuki ruangan bercat putih tersebut, namun langkah Renjun terhenti. Tangannya bahkan masih memegang knop pintu, dan bocah itu mematung di dekat pintu yang sudah ia buka setengah. Bocah kelas 2 sekolah menengah itu terdiam ditempat. Tubuh mendadak kaku melihat apa yang sedang terjadi di dalam ruangan yang akan ia masuki. Sesaat kemudian tubuh mungil Renjun mulai bergetar ketakutan.

Di dalam ruangan itu, ia melihat Jeno sedang memuntahkan sesuatu dari mulutnya. Wajah pucat dan dipenuhi oleh keringat, terlihat begitu kesakitan dan lelah. Bocah itu terus berusaha memuntahkan seuatu dari mulutnya. Namun yang keluar dari hanyalah cairan, dan Renjun yakin hal itu bahkan lebih menyakitkan dibandingkan ketika memuntahkan makanan. Sedangkan di dekat Jeno ada sang ibu, yang tangan kiri memegang baskom untuk menampung muntahan Jeno serta tangan kanan memijat tengkuk Jeno. Mungkin bermaksud untuk membuat Jeno lebih mudah untuk mengeluarkan isi perutnya.

Sebisa mungkin, Renjun berusaha menetralkan perasaan. Mencoba menghilangkan semua ketakutan agar tubuhnya berhenti bergetar. Lalu ia mulai melangkahkan kaki keluar dari ruangan setelah sebelumnya menutup pintu ruangan tersebut dengan begitu pelan. Bahkan kedua orang yang ada di dalam ruangan tersebut tidak menyadari kehadiran Renjun. Ia kemudian terduduk dilantai samping pintu kamar tersebut dan menyandarkan tubuh ke dinding.

Semua yang ia lihat tadi membuat sebuah rekaman yang tidak pernah lagi ingin Renjun lihat kembali muncul, berputar di benak Renjun seperti sebuah film.

Memperlihatkan Renjun yang sedang berada disebuah bangsal rumah sakit, membantu sang ibu yang terus saja memuntahkan isi perut yang bercampur darah kedalam baskom yang ia pegang. Renjun menangis. Ia masih berumur 8 tahun saat itu, seorang bocah tentu akan merasa ketakutan setengah mati melihat ibu yang ia sayangi sedang dalam kondisi seperti itu. Namun tiba-tiba saja sang ayah datang, menjambak rambut Renjun dan meyeret tubuh kecil itu keluar. Meninggalkan sang ibu yang berteriak memanggil namanya dengan suara lemah disertai tangisan. Ayahnya memukul, menendang bahkan berteriak pada Renjun. Ia tidak tahu dimana salahnya, namun memang itulah yang akan sang ayah lakukan jika ia pulang menghadap  tanpa sepeserpun uang. Ayahnya akan mengamuk jika ia lebih memilih merawat ibunya dibanding bekerja serabutan di pasar ataupun mengemis. Tentu saja, tanpa uang yang ia hasilkan ayahnya mana bisa berjudi dan bermain dengan wanita.

Lalu terlihat Renjun yang sedang menangis disebuah makam. Makam itu terlihat begitu sederhana, tanpa dihiasi oleh batu nisan yang layak. Hanya kayu bertuliskan nama sang ibu juga foto di dekat nisannya. Renjun tidak sendiri, ada bocah laki-laki lain disana. Bocah yang lebih muda 2 tahun dari Renjun.

Bocah itu adalah Chenle, yang saat itu juga ikut menangis karena merasakan kesedihan Renjun, bahkan ketika ayahnya sendiri tidak peduli akan kematian ibu mereka. Chenle bukan adik ataupun saudara Renjun, Chenle hanya bocah 6 tahun yang tinggal dengan paman dan bibinya karena kedua orangtua bocah itu sudah meninggal. Nasibnya tak jauh beda dengan Renjun. Bocah itu juga hampir setiap hari dipukuli oleh paman dan bibinya apabila pulang ke rumah tanpa membawa uang, itu sebabnya hampir setiap hari juga Chenle menemani Renjun bekerja dipasar ataupun mengemis.

Ibu Renjun pernah bilang kalau mengemis itu perbuatan buruk, tapi Renjun tidak ada cara lain. Saat itu ia harus memberikan uang kepada ayahndan membayar pengobatan ibu, sedangkan Chenle harus menyerahkan uang pada paman dan bibi agar kedua orang itu bisa bersenang-senang dan tak memukulnya.

Renjun teringat saat ia dan Chenle merasakan suatu kebahagiaan yang luar biasa. Seorang lelaki tua yang mereka temui di pasar, yang bahkan tidak mereka kenal, memberikan 2 tiket pelayaran menuju Busan. Mereka hanya bocah saat itu, mereka tidak tahu dimana Busan dan seperti apa tempat itu. Tapi kakek itu bilang, mereka bisa bebas dari segala penderitaan mereka jika mereka pergi ke tempat bernama Busan itu. Kakek itu seperti malaikat yang sengaja Tuhan kirim khusus untuk mereka.

WARM HEARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang