Chapter 2

8.4K 443 6
                                    

Menghabiskan waktu semalam untuk bersenang-senang, membuat Nadine harus melewatkan kelas pertamanya hari ini. Ia sampai di sekolah saat waktu menunjukkan jam makan siang, dan ia harus menunggu kurang lebih satu jam untuk mengambil kelas selanjutnya di bidang seni.

Orang-orang yang tadinya menghalangi jalan, menyingkir saat Nandine mengayunkan langkahnya. Para pria memandanginya sampai menggodanya dengan kerlingan mata. Sedangkan para gadis mulai heboh berbisik-bisik menilai penampilannya. Memangnya ada apa dengan setelannya? Nadine hanya menegenakan dress bertali spageti dengan motif bunga dan menutupi pahanya.

Sebelum kukunya melayang ke wajah mereka, Nadine segera mempercepat langkahnya menuju kantin di sayap kanan gedung sekolahnya. Suara sepatunya beradu dengan lantai, ketika berjalan menuju meja kedua temannya.

Tanpa aba-aba Nadine langsung menyambar lemon milik Sofia yang belum disentuh sama sekali. Musim panas di Melbourne benar-benar membakarnya.

"Lupakan saja kalau itu minumanku," sinis Sofia.

Nadine memutar bola matanya malas. Kedua temannya ini memberikan tiga tas mahal secara cuma-cuma. Tapi hanya untuk segelas lemon saja, Sofia begitu pergitungan. "Aku akan menggantinya."

"Kuharap kau tidak melupakan taruhan kita, Nadine." Valerie menggigit apelnya.

"Sayang sekali, aku tidak dalam keadaan mabuk saat menyetujuinya."

"Itu terdengar lebih baik. Aku tidak sabar mengendarai mobilmu."

"Jika kau menang dalam taruhan ini. Kau seharusnya menyiapkan uangmu untuk membeli tas yang kau janjikan."

Lalu ketiganya sama-sama tertawa bersamaan.

Nadine dan kedua temannya, menggosip seperti gadis-gadis lainnya. Membicarakan teman kencan untuk pesta perpisahan yang akan diadakan beberapa bulan ke depan. Atau berbisik mengenai model pria celana dalam yang terlihat begitu seksi dan mengairahkan. Hanya para gadis yang mengetahuinya.

"Jangan bercanda, Sofia! Membawa Travis Dean dalam pesta perpisahan adalah pilihan yang buruk. Pria itu begitu payah dan sombong."

Nadine tidak menyukai Travis tentu saja. Pria manja sepertinya selalu membanggakan kekayaan yang masih dimiliki oleh orangtuanya. Lagi pula, pria dewasa mana yang masih diantar dengan supir saat pergi ke sekolah. Deans adalah sosok pria sempurna yang sangat menyebalkan. Dan Travis berada di urutan teratas selain James Reid untuk ia jauhi. Dan sialnya, setelah menyetujui taruhan konyol tadi malam, Nadine harus menggeser posisi James, hingga berada di urutan paling bawah.

"Setidaknya bukan aku yang memohon."

Valerie langsung menanggapi. "Deans memohon padamu. Benar-benar sesuatu yang mengejutkan, saat ia selalu menyombongkan dirinya dan harta sialannya."

"Aku juga terkejut," balas Sofia tak peduli.

"Aku tidak habis pikir bagimana kau bisa menyetujuinya." Nadine terlalu kesal dengan Travis. Sehingga membicarakan pria itu pun, membuatnya enggan.

"Tidak ada yang salah dari Travis, sayang. Kurasa dia cukup oke untuk ukuran pria manja."

Nadine ingin menjawab perkataan Sofia ketika alarm ponselnya berdering dengan cukup keras dan membuat semua ornag yang berada di kantin menatap ke arah mereka. Itu bukan alarm yang selalu membangunkannya di pagi hari. Tapi, Nadine selalu memasang alarm untuk setiap kelas yang akan di masukinya setiap hari. Hanya dengan itu ia bisa ingat kalau ia memiliki kelas untuk belajar.

"Kelas ku akan dimulai, sampai jumpa lagi."

Lalu Nadine kembali menyandang tasnya. Ia berjalan dengan langkah cepat dan sedikit berlari. Kelas seni menjadi satu-satunya alasan mengapa ia masih pergi ke sekolah hari ini. Nadine menyukai seni, begitu pun ibunya.

Kelas masih sepi saat ia menempati bangku dibarisan paling depan. Hanya beberapa orang yang hadir, itu pun mereka di sibukan dengan kegiatan masing-masing.

Berselang beberapa menit, Mrs. Spencer masuk dengan buku gambar besar di tangannya. Nadine tahu, Mrs. Spencer pasti akan memamerkan lukisannya lagi. Wanita tua itu selalu saja bersikap sombong dan merasa bahwa lukisannya adalah lukisan tercantik di dunia. Nadine suka kelas seni, tapi ia tidak suka dengan pengajarnya.

Nadine disibuk 'kan dengan gambar design gaun di bukunya saat Mrs. Spencer menjelaskan betapa pentingnya detail pola dalam sebuah gambar. Berbicara mengenai omong kosong tentang lukisannya yang di gambarkan sebagai salah satu dewi dari Yunani. Nadine tidak tahu siapa, ia malas untuk mendengarkan. Mrs. Spencer menjadi guru pengganti terburuk yang pernah didapatnya.

Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu. Semua orang menatapnya, pria dengan kaos hitam dan celana jins longgar, serta sepatu kets berwarna putih. Mulut Nadine hampir saja terjatuh ke lantai, jika ia tidak menahan mulutnya untuk terbuka. Pria itu tersenyum singkat kepada Mrs. Specer sebelum melangkah masuk ke dalam kelas.

Ketika James melaluinya, pria itu menatapnya tajam. Nadine dibuat tersentak dengan tatapan itu. Aura gelap di sekitar James masih berpengaruh pada dirinya. Pria itu benar-benar menakutkan. Bagaimana bisa ia membuat James jatuh cinta kepadanya dalam waktu sebulan. Sepertinya, Nadine harus merelakan mobilnya mulai hari ini.

Nadine memandang lurus ke depan, berusaha memperhatikan Mrs. Spencer. Dalam keadaan seperti ini pun, Nadine tetap merasakan bahwa James menatapnya tajam dari belakang sana.

Ya Tuhan, selamatkanlah ia dari posisi ini!

***

Nadine menggeram kesal sambil menatap pantulan dirinya di depan cermin. Setelah kelas seni berakhir, ia langsung berlari ke toilet wanita karena rasa mual di perutnya. Sebelumnya ia tidak pernah merasakan hal seperti ini, dan kehadiran James di kelas seni benar-benar membuatnya mual.

Bagaimana ia bisa berada di kelas yang sama bersama pria itu, sedangkan selama ini Nadine tidak pernah menyadari keberadaan James di kelas seni. Atau memang karena pria itu tidak pernah masuk sebelumnya.

Mata tajam James seakan memperingatkannya. Bahkan sebelum ia bergerak sedikit pun, pria itu sudah membuat pertahanan diri. Nadine tidak memiliki cara apa pun untuk mendekati James. Bagaimana bisa mulutnya yang sialan berkata bahwa ia akan membuat James jatuh cinta padanya. Astaga, seharusnya ia berpikir seratus kali sebelum menyetujui taruhan konyol itu. Nadine tidak pernah bisa berpikir jernih ketika sedang meneguk alkohol sialan itu!

Nadine memiliki beribu cara untuk menggoda pria-pria lain. Tapi ia tidak memiliki satu cara pun, untuk mengoda, James. Lagi pula ia tidak pernah menggoda pria, mereka 'lah yang menggodanya dan kaum pria yang menyerahkan diri mereka secara sukarela untuk menjadi budaknya.

"Lebih baik aku bersenang-senang dari pada memikirkan, James sialan!"

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Seducing James (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang