1. Sekolah Impian Ibu

157 16 8
                                    


Semoga saja, ridho ibu akan mempermudah proses belajarku nanti.
-Naymira

****


Deru mesin terdengar bertabrakan dengan semilir angin pagi ini, aku terjebak diantara ibu-ibu berbadan gemuk yang hendak ke pasar, membawa tas belanjaan yang begitu besar, untung saja tidak mengenai wajahku. Badan kecilku terhimpit membuat tubuhku berkeringat, misuh-misuh aku di dalam hati betapa menyebalkannya ibu-ibu ini.

"huh!" dengusku kesal.

Aku merapikan jilbabku yang tersenggol tas belanjaan ibu-ibu berbadan gempal yang berada di samping kananku. Tanpa kusadari ternyata ibu-ibu itu menoleh padaku.

"Kena ya dik?" Tanyanya begitu. Jika saja bapak tidak mengajariku sopan santun pasti langsung kuteriaki "Iya bu kena, gak liat bentuk jilbab saya yang udah gak keruan?"

"Nggak papa bu" jawabku akhirnya, sekuat tenaga aku menarik sudut-sudut bibirku.

"Maaf ya dik" lihatlah, dia memang minta maaf tapi wajahnya itu loh... gak ada rasa bersalahnya sama sekali. Rasa-rasanya ingin sekali ku olesi wajahnya dengan balsam tiga lapis.

Omong-omong tentang ibu-ibu yang menyebalkan, aku jadi teringat kejadian beberapa minggu yang lalu tepatnya seminggu setelah ujian nasional ku selesai.

Saat itu malam hari setelah makan malam, aku, ibu, dan bapak duduk di depan televisi yang tengah menayangkan acara musik, bapak bertanya tentang nanti aku akan melanjutkan sekolah ke mana. Saat itu aku menjawab "Belum kufikirkan pak" tiba-tiba ibu menyahut "ke MA yang ada di kecamatan sebelah aja"

For your information guys, MA itu singkatan dari Madrasah Aliyah. jadi MA itu sejenis sekolah agama yang setingkat dengan SMA, letak perbedaannya  ada pada mata pelajarannya. jika di SMA hanya memuat pelajaran-pelajaran umum aja, nah di MA nanti kalian bakal ketemu sama pelajaran umum sekaligus pelajaran agama. Pusing gak tuh? mikirinnya aja udah bikin geleng kepala apalagi nanti jalaninnya. di tambah lagi, katanya di MA itu banyak hafalannya, mulai dari hafalan hadis sampai hafalan surat-surat di Alquran.

Oleh sebab itu, setelah ibu berkata demikian aku langsung menolak dengan cepat. "gak mau bu"

Otakku gak bakal kuat.

"Kenapa?"

"Aku maunya di SMA aja sama kaya abang"

"Abang kamu kan lelaki"

"Orang sekampung juga tau abang itu lelaki" cibirku kemudian.

Bapak berseru tegas memanggil namaku "Ira" aku tau itu tanda aku yang kurang menjaga sikap pada ibu.

Menghela nafas, baiklah. Aku menatap bapak lantas mengangguk, sedetik kemudian dia tersenyum tipis kembali memakan kacang rebus kesukaannya.

"Ibu, aku maunya di SMA aja, temen-temenku juga masuknya SMA semua, gak ada yang ke MA apalagi di kecamatan sana" jelasku, kali ini nada bicaraku lebih lembut.

"Tapi kamu perempuan nduk"

"Lantas kenapa?"

"Ibu mau kamu menjadi wanita yang sholehah, ibu gak mau kamu nanti kebawa arus pergaulan bebas"

Aku diam, hendak membantahpun enggan.

"ya... kamu ke MA aja ya" Ibu terus membujukku membuatku bingung, jika menolak aku takut tidak di ridhoi nanti sekolah di SMA dan jika aku iyakan, aduh bagaimana nanti nasib otakku nanti.

Melihat aku yang diam saja bapak kemudian menengahi "Sudahlah bu, lagian Ira baru aja selesai ujian, biarlah dia menikmati masa bebasnya dulu"

Dengan begitu, kami kembali fokus pada layar kaca yang menampilkan iklan tentang sabun colek yang katanya ampuh membersihkan noda.

Dua hari kemudian, dengan waktu yang sama-malam hari setelah makan malam ibu kembali membujukku agar aku bersekolah di MA.

"Begini deh bu, alasan paling mendasar kenapa ibu pengen banget aku sekolah di MA itu kenapa? Gak mungkin kan cuma karena ibu yang takut aku salah pergaulan, kalo kayak gitu sekalian aja masukin aku ke pesantren" tanyaku saat itu.

Ibu diam sebentar, kemudian dengan senyum lebar ia menjawab. Jawabannya sungguh membuatku gondok setengah mati "Karena dulu ibu pengen sekolah disitu nduk, tapi gak dibolehin sama nenekmu katanya kejauhan. Nah kalo kamu sekolah di MA kan berarti cita-cita ibu tercapai"

Sesaat ingin sekali aku menepuk dahiku keras-keras sementara bapak hanya terkekeh di ujung ruangan sambil mengupas kulit kacang rebusnya.

Aku kembali pada realita saat aku merasakan kelonggaran ruang di sebelah kananku. oh rupanya ibu-ibu itu turun dari angkot. Syukurlah aku bisa duduk dengan leluasa sekarang.

Ku geser bokongku ke kanan sedikit. Lima detik kemudian si mamang angkot meneriaku "Neng, geser dikit neng, masih muat itu"

Dengan malas kugeser lagi bokongku ke kiri, berdempetan lagi dengan ibu-ibu. baru saja aku duduk bebas eh sekarang udah sempit-sempitan lagi. Lagian siapa sih penumpangnya, kenapa gak naik angkot lain aja.

"huh!" sekali lagi aku mendengus, baiklah sabar Ira, sabar, orang sabar dapet cogan.

Setelah menempuh perjalanan lebih dari 20 menit itu, akhirnya aku sampai di sekolahku, Madrasah Aliyah kecamatan seberang. Atas bujukan ibu aku akhirnya bersedia masuk ke MA, niat hati ingin ke SMA tapi ya sudahlah. Semoga saja, ridho ibu akan mempermudah proses belajarku nanti.

Aku takut jika aku memaksa ingin sekolah di SMA aku akan mendapat banyak masalah.

Jadilah sekarang, aku berdiri di depan gerbang sekolah yang dulunya menjadi sekolah cita-cita ibu.

Di depanku, berkeliaran remaja-remaja berseragam putih abu-abu, bukan memakai topi distro-an atau bando ala-ala korean style, disini anak laki-laki memakai peci hitam, dan yang perempuan memakai jilbab putih besar nan panjang sampai hampir menutupi separuh badan. Benar-benar jauh dari kata gaul.

Menghembuskan nafas panjang, baiklah aku pasti bisa beradaptasi dengan semua ini, hanya perlu menunggu waktu. Kakiku mulai melangkah memasuki sekolah baruku, menelusuri setiap jengkal sekolah yang dulunya sangat diidamkan ibu.

Dua bulan berlalu. Ternyata, beradaptasi dengan sekolah ini tak semudah bapak mengecat tembok. Aku kesulitan berinteraksi dengan teman-temanku yang benar-benar islami, pola fikir mereka jauh berbeda denganku. Aku tidak bisa bertingkah sesuai dengan aku yang sebenarnya, segala perbuatan yang akan ku lakukan harus ku fikir berkali-kali agar tidak menyimpang dari ajaran agama. Ini bukannya aku munafik dengan berpura-pura bertingkah baik tapi ini adalah salah satu cara agar aku bisa terbiasa. Bayangkan saja, jika yang lain bertingkah sesuai dengan agama, meskipun itu sedikit kaku tapi itu sesuai dengan yang tertulis dalam Alquran dan hadis Rasulullah shallallahualaihi wa sallam aku tidak bisa bertingkah seenaknya dengan alasan 'aku tidak nyaman bertingkah kaku' itu akan sangat memalukan bagi aku sendiri dan juga, aku akan mencemari nama baik keluargaku. Dengan berbagai alasan itu pula lah, jika di sekolah aku menjadi seorang yang lebih pendiam. Berbicara ketika ditanya, berinteraksi secukupnya-itupun hanya dengan kaum wanita, dan lebih banyak duduk daripada berkeliaran.

Dari sini aku jadi berfikir, apa ini cara Allah agar aku bisa merubah sikapku? apa ini cara Allah agar aku menjadi pribadi yang lebih baik lagi? Jika iya, maka Dia berhasil, yah setidaknya menurut penilaianku selama dua bulan terakhir ini. Dengan keadaanku yang sukar melakukan sesuatu, di tambah aku yang belum memiliki teman dekat, aku jadi lebih sering membaca, entah itu novel, cerpen, komik atau buku pelajaran. Dari situ aku jadi lebih mengetahui banyak hal, hal-hal yang sebelumnya tidak aku ketahui.

Aku menyadarinya, konspirasi semesta selalu menakjubkan.

Same [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang