18. Ombak Bukan Badai

22 6 1
                                    


Karena sejatinya tidak ada laut yang tetap tenang, tidak ada pelayaran tanpa hambatan, dan tidak ada perjalanan tanpa gangguan.
-Naymira

*****

"Iya nanti bakal tanggung jawab kok" tutur Alan tanpa menurunkan sudut bibirnya.

Aku melongo season kedua ''kok tau sih?"

"Ekspresi kamu gampang buat ditebak, beda banget pas sebelum saling kenal. Datar mulu"

"Emang gitu?" Tanyaku sedikit linglung.

Alan masih setia dengan senyumnya "iya"

"Coba aku lagi mikir apa sekarang"

Dia menatapku dengan kening berkerut dan alis yang menukik, niat hati aku tak ingin memikirkan apapun tapi apalah dayaku yang disuguhi pemandangan yang amat indah ini, tau tidak? Batinku sedari tadi menjerit "Alan ganteng! Alan ganteng!"

"Saya tau" riangnya kemudian.

Dia tau? Bisa mampus aku.

"Apa?"

"Kamu ter--" ucapannya terhenti karena seruan cempreng yang ku yakini berasal dari mulut Maysaroh. "Woy berduaan bae"

Aku malu tapi sebisa mungkin aku tetap mengontrol ekspresiku agar tetap biasa. Sementara Alan dia nyengir kaku sambil menggaruk kepalanya yang ku duga tidak gatal itu.

Kami diam memperhatikan tiga temanku yang kini melangkah dengan sok anggun, catat baik-baik SOK ANGGUN.

Ketiganya bersedekap menatap kami garang layaknya ibu kos yang menagih tunggakan.

Maysaroh mendengus lalu matanya melirik Tita. "Pipi liat kelakuan anak kamu! Berduaan sama laki-laki, di sekolahan pula"

What?! Aku mengerang, drama macam apa ini?

Kemudian Tita mengelus lengan Maysaroh lembut "sabar mi"

"Sabar sabar, gimana nanti masa depan anak kita pi kalo sekarang aja bukannya belajar malah asik-asikan pacaran"

"Kamu juga kak" sentak Maysaroh pada Ima seraya memukul bahunya. Ima yang semula memainkan ponselnya langsung kaget, hampir saja ia menjatuhkan ponselnya. "Hah?!"

"Hah! Heh! Hah! Heh! Kamu tuh jadi kakak yang bener dong, ajarin adekmu bilang sama dia jangan pacaran mulu"

"Iya mi" pasrahnya kemudian.

Mataku menangkap air muka Alan yang melongo tidak percaya, lalu dia berbisik padaku "temen kamu... kenapa?"

Aku terkekeh "Mereka emang gitu, biarin aja" balasku.

"Tapi lucu ya"

Baru saja hendak ku balas ucapan Alan tapi Maysaroh lebih dulu bersuara. "Ngapain itu bisik-bisik?"

Aku menghela napas panjang "udahlah May, capek"

"Ya sudah kamu duduk di bawah biar mimi sama pipi yang duduk di atas, Ima kamu di belakang kami" pertukaran posisi pun terjadi, aku dan Akan mengalah saja daripada kena sembur Maysaroh lagi. Jadilah sekarang pantatku bersentuhan dengan dinginnya batako, semoga saja tidak terlalu kotor.

"Jelasin sekarang" titahnya tegas, tiba-tiba aku merasa perutku melilit. Aku mengatur napasku niat hati ingin membuka suara menjelaskan yang sebenarnya pada Maysaroh tapi ucapanku harus tertelan kembali karena Alan lebih dulu bersuara.

"Saya dan Ira memiliki rasa yang sama tapi kami sudah sepakat bahwa kami tidak ingin pacaran, kami punya komitmen. Tapi jika Ira ingin lepas dari saya, saya nggak akan memaksa"

Mereka diam, aku juga.

"Ira beneran nggak mau pacaran?" Tanya Ima yang ku jawab dengan gelengan.

"Kenapa?"

"Menghindari zina" itu suara Alan. Lalu Tita mendengus "Emang dengan kalian berduaan kayak gini, nggak zina?"

Skakmat! Iya juga sih, ku lirik Alan juga sama diamnya.

"Tapi ya udah, kita menghargai keputusan kalian. Aku juga paham sih kalo orang yang lagi jatuh cinta tuh pengennya dekeet mulu sama doi" terang Maysaroh membuatku tanpa sadar menghembuskan napas lega. Hening sebentar sebelum akhirnya dengan dramatis Maysaroh mengusap kedua sudut matanya. "Anak kita sudah besar pi"

****

Layaknya sayur tanpa garam, hubungan tanpa konflik itu nggak enak. Karena sejatinya tidak ada laut yang tetap tenang, tidak ada pelayaran tanpa hambatan, dan tidak ada perjalanan tanpa gangguan. Sebagai manusia kita di haruskan siap menghadapi berbagai macam cobaan yang Allah berikan, tidak perlu mengeluh apalagi meratapi nasib, semua itu hanya membuang waktu berhargamu. Lebih baik berfikir ke depannya agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi. 

Seminggu berlalu semenjak kejadian dimana kesepakatan antara aku dan Alan mengenai komitmen. Ada yang berubah, tentu saja. Waktuku saat di sekolah tidak sepenuhnya bersama Blaise namun terbagi dengan Alan, mereka tidak banyak komentar, yahh setidaknya aku perlu bersyukur akan hal itu. Ada kalanya Alan gabung dengan Blaise saat istirahat bersama dengan Damar temannya.

Seperti biasa aku berangkat pagi-pagi sekali, saat suasana masih sepi. Aku suka saat mendengar ketukan sepatu yang beradu dengan ubin, terasa amat menenangkan di telingaku.

Lalu langkahku terhenti, sepasang sepatu berwarna dark blue berada amat dekat dengan sepatu hitam putihku. Saat ku angkat wajahku pandanganku langsung beradu dengan mata sipit yang kini menatapku tajam.

Laila, dia Laila. Masih ingat?

"Kenapa?" Tanyaku.

Dia tersenyum sinis "Berhenti jadi cabe"

Apa?! Sumpah ya aku nggak punya urusan apapun sama dia bahkan dekat pun tidak, obrolan terakhir saja saat di kantin tempo hari.

"Maksud kamu apa?"

"Berhenti bersikap sok alim, sok baik kayak gini" aku memilih diam, menatap tenang wajah Laila.

Melihat aku diam saja Laila kembali bersuara "Jauhin Alan, lo nggak pantes buat dia"

Aku tertegun, dalam beberapa detik aku hanya diam, pikiranku berputar-putar. Memangnya kenapa jika aku dekat dengan Alan?

Mataku mengerjap sebelum akhirnya angkat suara "Siapa kamu nilai aku pantes nggak sama Alan?"

Dia menggeram lantas tubuhnya memojokkanku hingga punggungku bersentuhan dengan dinginnya tembok, aku menahan napas. "Gue Laila, dan gue amat tau seberapa pantas seorang cewek buat Alan"

Dia memundurkan langkahnya membuatku tanpa sadar menghembuskan napas lega. Laila tersenyum sinis "Lo harusnya sadar seberapa rendah diri lo, gue tau nama lo Ira kan? Ira yang ada namun dianggap tiada" aku menggigit lidahku, tidak bisakah dia menyaring kalimatnya dulu sebelum disuarakan? Di sekolah aku memang ada tapi mereka-kecuali teman sekelasku menganggapku tiada, itu benar. Aku jarang berinteraksi dengan mereka yang berbeda kelas denganku.

"Sekarang gue tanya, punya apa sih lo? Wajah pas-pasan, pinter kagak, populer apalagi! Hah?! Punya apa lo?"

"Aku punya Allah dan aku punya rasa yang sama dengan Alan"

Dia berdecih "Kepedean banget lo! Mending sekarang lo ngaca deh, bangun! Jangan mimpi terus" kemudian dia berlalu meninggalkan aku yang masih terpaku.

Aku berani kan?

Bulir air mata jatuh mengenai pipiku. Tidak, aku tidak berani! Dan selamanya akan begitu. Aku takut dibully seperti tadi, aku takut dibentak seperti tadi, aku takut disuruh sadar diri karena pasti aku merasa rendah sendiri.

Sejak dulu aku memang sudah menyadari ketidakpantasan aku bersama Alan, aku menyadari seberapa lancangnya aku memiliki rasa kepada Alan, aku menyadari! Dan aku benci ketika disadarkan. Biarkan saja aku menyimpan sendiri jangan disuarakan.

Ketukan sepatuku kembali terdengar tapi kali lebih cepat, tanganku terulur menghapus bercak air mata yang masih tersisa di pipiku. Jangan sampai ada yang tau jika tadi aku menangis, jangan sampai ada yang menyadari jika tadi aku tersakiti, biarkan saja aku menyimpan sendiri.

Same [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang