13. Gagal Move On!

21 7 2
                                    


Nama saya Alan Hamzah, panggil Alan saja atau kamu mau manggil saya sayang? Atau honey? Saya nggak keberatan sama sekali.
-Alan Hamzah

*****

Aku tau aku tak cukup baik untuk menjadi pendamping seorang Alan Hamzah, dan aku baru menyadarinya sekarang saat melihat Alan bersama gadis berkulit putih dengan senyum semanis gula. Aku menyadari semuanya saat rasaku sudah mulai memperlihatkan bentuknya.

Aku sakit, tentu saja. Tapi akan lebih sakit lagi jika aku tetap mempertahankan rasa ini. Semuanya terasa amat singkat tapi aku tak menyesali adanya rasa ini, aku sudah cukup bahagia diberi kesempatan untuk mencintainya.

Alan itu bak pangeran negeri seberang sedangkan aku, hanya upik abu yang kadang tak terlihat. Ibaratnya Alan itu segalanya sedangkan aku seadanya. Menyedihkan sekali kisah cintaku.

Melepaskannya itu susah, aku harus menahan jariku untuk kembali men-stalk akun facebooknya dan aku juga harus menahan mataku agar tidak selalu memperhatikannya dari jauh atau sekedar memandangi kelasnya.

Semesta seperti mengamini rencanaku, dua minggu terakhir aku tak pernah bertemu dengan Alan dalam jarak kurang dari tiga meter, meski rindu aku tetap bersyukur karena hal itu mempermudah proses move on ku.

Omong-omong saat ini aku tengah di kantin, sendirian. Karena ketiga temanku itu katanya mau setor hafalan hadis pada Pak Nira kalau aku sih udah dari minggu lalu karena kata bapak "Menunda pekerjaan sama saja dengan menunda masa depan cerahmu, bermalas-malasan sama saja dengan mengurangi umurmu" agak seram juga sebenarnya tapi berkat petuah itu aku jadi rajin tiap kali ada hafalan atau PR yah meskipun tetap saja kadar kepintaranku tidak berubah.

Aku memakan batagorku pelan sesekali meminum es teh manisku kala merasa lidahku terbakar.

"Hai" kepalaku mendongak saat sapaan halus itu sampai di telingaku. Pandanganku langsung disambut oleh sepasang mata beriris hitam yang menatapku ramah.

Deg!

Hatiku berdebar seiring dengan telapak tanganku yang mulai berkeringat. Susah payah aku menelan batagor yang terasa amat besar.

Alis tebal itu terangkat karena aku belum juga menjawab sapaannya. Kemudian bibirnya terkulum lalu membuka lagi hendak kembali berbicara. Namun sebelum dia benar-benar mengeluarkan suaranya aku lebih dulu menyela. "Hai" tuturku canggung.

Bagaimana tidak canggung, dia adalah Alan. Laki-laki yang ku hindari dua minggu terakhir dan sekarang... dia ada di hadapanku dengan semangkuk bakso dan segelas es jeruk.

"Boleh duduk di sini?"

"Eh?" Aku merutuki diriku sendiri karena mendadak lemot seperti ini. "Boleh kok, duduk aja" lanjutku kemudian.

Bibirnya terangkat mengulas senyum indah yang amat ku rindukan lalu dia duduk di hadapanku.

Menarik napas panjang aku merasa batagor yang ku makan kali ini rasanya hambar, kepalaku terus menunduk tak berani menatap laki-laki yang masih ku cintai itu.

"Kamu kelas IPA 3, kan?" Tanyanya membuat kepalaku terangkat.

"Iya" jawabku singkat, padat, dan jelas.

"Nama kamu siapa?"

Aku melumat bibirku, tidak tau kah dia jika saat ini aku tengah gugup? "Ira"

"Kamu nggak nanya nama saya?"

Aku mempout bibirku menahan senyum yang siap menyembul.
Pura-pura aku berdecak "Nama kamu siapa?"

Dia tersenyum geli, ugh betapa aku ingin memandangnya lebih lama. Alhasil dengan sedikit tidak rela aku melempar pandanganku ke mamang batagor yang sedang minum sambil menyeka keringat di dahinya.

Same [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang