25. Apa Tidak Terlalu Cepat?

54 9 5
                                    

Cinta itu anugerah
Menjaganya adalah ibadah
Karena jatuh cinta itu hukumnya mubah.
-Naymira

*****


Tubuhku terbalut kebaya putih yang amat anggun sementara itu wajahku terpoles make up membuat wajahku menjadi lebih cantik, aku harus mengakui bahwa hari ini aku memang cantik karena hari ini aku adalah ratunya.

"SAH!" Bahana serempak itu membuatku kontan bergumam "Alhamdulillah"

Bibirku melengkung menciptakan seulas senyum manis sampai kemudian ketukan pintu membuat mulutku spontan bersuara "masuk" usai mengatakan hal tersebut sesosok wanita yang amat ku hormati kehadirannya memasuki kamarku dengan raut wajah penuh dengan kegembiraan serta kesedihan. Dia ibuku, wanita yang telah mempertaruhkan nyawanya demi melahirkanku.

Kakinya yang terbalut sepatu dengan heels rendah itu mendekatiku. Dengan suara yang bergetar serta mata memerah dia menyapaku. "Assalamualaikum anaknya ibu"

Aku menggigit bibir bawahku, mengerjapkan mata beberapa kali. "Waalaikumsalam ibu"

"Udah siap nak?" Aku mengangguk. "Baik-baik ya. Ya udah ayo turun"

Kami melangkah beriringan, ketukan sepatu dari kedua kakiku dan kakinya membuat suasana ramai berubah senyap dalam hitungan detik. Kepala-kepala penuh dengan pandangan penasaran menengok ke arahku, mata mereka memfokuskan pandangannya pada kami membuatku sedikit risih. Aku selalu tidak suka menjadi pusat perhatian. Lalu seperti mengerti ketidaknyamananku tangan ibu meremas tanganku pelan, seolah memberiku kekuatan.

Mataku menjelajahi seluruh ruangan yang kini penuh akan sanak saudara yang memancarkan aura bahagia. Dinding-dinding di hias sedemikian rupa membuatnya tampak indah kala di tatap mata, segerombolan bunga-bunga berbagai warna menghiasi sudut-sudut ruangan memperindah ruangan ini.

Lalu mataku terhenti, benar-benar terhenti kala menatap laki-laki berbalut jas hitam yang amat tampan di mataku. Dia tersenyum, amat manis seperti yang sudah-sudah. Jantungku jumpalitan tidak karuan, Bibirku tersenyum kaku seiring dengan aku yang mulai mengatur napasku agar tetap normal. Jarakku dengannya semakin dekat, pandanganku beralih pada ibu, dia mengangguk seraya tersenyum menenangkan, aku juga mengangguk lalu aku bergerak mendekati laki-laki yang kini sudah sah menjadi imamku.

Kini aku sudah duduk berdampingan dengan laki-laki itu. Menatap matanya tanpa takut dosa seperti dulu, membalas senyumnya tanpa takut akan pedihnya siksa neraka seperti dulu. Tanganku terulur menyalami tangannya, kemudian dia menangkup telapak tanganku hingga kini tenggelam di antara kedua telapak tangan besarnya.

Dia menatapku lembut lantas tersenyum, amat manis. "Assalamualaikum Zawjati"

Bibirku masih mempertahankan senyum dengan dada yang kini sesak, bukan karena menahan kesedihan yang mendalam tapi karena kebahagiaan yang membuncah seperti hendak keluar dari wadahnya. "Waalaikumsalam Pak Gray"

Dia tersenyum memajukan wajahnya ke arahku, aku dapat merasakan hembusan hangat napasnya, aku menahan napas, wajahnya semakin dekat, semakin dekat, dan...

BRUKK!

Sial cuma mimpi. 

Aku menghembuskan napasku kasar, kenapa akhir-akhir ini mimpinya aneh banget sih? Lalu mataku melihat jam dinding yang terpasang di tengah kamar dan seketika itu pula mataku terbelalak.

Same [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang