24. Dari Temanku

28 7 0
                                    


Aku hanya belajar dari masa lalu
Menghargai seseorang yang masih tinggal
Karena dari masa lalu aku mendapat satu pelajaran
Bahwa yang berharga akan semakin terasa saat ia telah hilang.
-Naymira

******

Sepuluh tahun berlalu, hatiku memang masih menyimpan rapi namanya, tapi hidupku tentunya harus berubah. Takkan ku biarkan cinta merenggut masa depanku, meski hatiku mati rasa tapi setidaknya otakku masih berjalan dengan baik.

Sekarang ini aku sudah memiliki sebuah toko kue yang lumayan ramai, dan sudah memiliki banyak pelanggan. Tokoku lumayan besar dengan dua lantai, di lantai pertama terdapat kafe kecil-kecilan dan beberapa jejeran etalase berisi kue-kue kecil yang lucu buatanku, yahh meski tidak semuanya, di sebelah  barat lantai pertama terdapat dapur yang biasa digunakan para pegawaiku, sementara di sebelah timur terdapat perpustakaan mini yang berisi beberapa novel legendaris yang sudah lama di terbitkan, sengaja memilih novel-novel lama karena jarang di temui di toko-toko buku.

Sementara itu di lantai kedua terdapat beberapa ruangan yang sengaja di desain untuk pribadi, di bagian selatan ruangan ini aku meletakkan kaca-kaca tinggi mengelilinginya menampilkan panorama yang masih hijau. Di lantai dua ini juga terdapat dapur yang ukurannya lebih kecil dari dapur di lantai satu, dapur ini hanya boleh dimasuki oleh aku sendiri atau beberapa orang yang ku izinkan.

Toko ini telah berjalan lebih dari dua tahun lamanya. Aku membangun toko ini dengan modalku sendiri yang berasal dari kerja kerasku bekerja di salah satu perusahaan ternama.

"IIRA" sapaan cempreng itu berasal dari gadis berkerudung biru yang kini berlari ke arahku. Benar-benar tidak tau umur.

Kami berpelukan, cukup lama sampai kemudian Tita dan Maysaroh berdehem keras-keras. "Sini ikutan" ujarku seraya merentangkan tangan. Detik selanjutnya tubuhku kini dihimpit dua orang yang pernah menjadi salah satu bagian terindah di masa abu-abuku.

"Ke atas aja ya, kalian duluan nanti aku nyusul" ajakku. "Dinda nanti bawain kue terbaru yang tempo hari saya buat sama empat minuman coklat, sediain beberapa es krim sama biskuit juga ya, nanti di bawa ke ruangan biasa" pintaku pada salah satu pegawai yang kebetulan lewat.

"Iya bu"

Setelah mendengarnya kakiku bergegas menaiki tangga lantas bergabung bersama kawan seperjuanganku yang kini sepertinya tengah mengobrol seru.

Setelah bercakap-cakap beberapa saat pegawaiku, Dinda menghampiri meja kami lantas menata berbagai macam makanan manis di atas meja."ini bu" ujarnya sopan.

"Makasih ya Dinda"

"Sama-sama bu, kalo gitu saya pergi dulu"

Aku mengangguk, sementara itu Maysaroh mendecak tidak menyangka melihat banyaknya makanan manis yang kaya akan gula memenuhi meja. "Bisa gendut aku lama-lama"

"Aina sini sayang sama tante, kamu juga Usman sini kasep" dua balita itu mendekatiku lantas tanganku cekatan membawa tubuh mereka ke atas pangkuanku. Aina di sebelah kanan sementara Usman di sebelah kiri. Bibirku gemas menciumi pipi gembil mereka.

"Jodohin aja sih mereka berdua"

"No!" Bantah Tita dan Maysaroh serempak membuatku terkekeh. "Sayang nanti besar pada nikah ya, tenang aja kuenya urusan tante" mendengar hal tersebut, dua ibu muda itu mendengus keras-keras seraya mencibirku.

Maysaroh dan Tita memang sudah berumah tangga, sementara Ima katanya beberapa bulan lagi akan melangsungkan pernikahan. Disini memang hanya aku yang tidak memiliki kejelasan.

Aku menghela napas, berusaha tersenyum lebar sambil bercanda dengan kedua balita lucu ini.

"Kamu masih mau nunggu?" Pertanyaan itu berasal dari Tita.

"Insya Allah"

"Ra, daripada nunggu yang ngga jelas gimana kalo kenalan aja sama temenku"

"Atau sama Ari" sahut Maysaroh.

Ima mencibir. "Sekalian aja sana sama Hadi"

Aku mengernyit "Eooh"

"Ari pas MA?"

"Iyalah, siapa lagi?"

"Lah, dia suka sama aku?"

"Katanya sih iya"

"Bodo amat lah nggak suka cowok nyinyir aku"

"Kenalan dulu aja"

"Males"

Kemudian lenggang, kami sama-sama hanyut dalam manis yang menggoyang lidah. Lalu tiba-tiba aku merindukan Alan saat gelenyar dingin menyelimuti mulutku.

"Kangen Alan" ujarku lirih membuat mereka sontak menghentikan kegiatannya masing-masing, lantas menatapku.

Aku menunduk, lagi-lagi aku harus menahan nyeri yang tak berkesudahan. 

"Pasti berat ya?"

"Sabar Ra... kamu inget nggak kata Pak Riyan 'Man Shabara Zhafira' siapa yang bersabar maka ia kan beruntung" nasihat Tita sedikit banyak mengurangi beban di hatiku.

"Perbanyak sabar Ra, teruslah berserah diri pada Yang di Atas"

Aku mengangguk, lenganku mendekap lebih erat dua balita mungil di pangkuanku guna menyalurkan sesak yang sepertinya tiada pernah henti membuntutiku.

Aku memang harus tetap sabar, atau aku menyerah saja.

"Eh maap ya sayang-sayangku, kakanda sudah memanggil, aku harus pergi duluan" Maysaroh mulai membereskan tasnya. "Aina sini sayang" lantas gadis mungil itu berlari menuju ibunya membuat beban di sebelah kananku berkurang seketika.

"Aku juga nih kayaknya harus pulang duluan, maaf ya" tutur Tita sambil meringis, merasa bersalah.

"Iya nggak papa" ujar Ima pasrah, apa boleh buat kan? Tidak mungkin kami memaksa mereka agar tetap tinggal.

Setelah mereka pergi, kini hanya tinggal aku dan Ima. Duduk berdampingan memandangi hamparan hijau yang mungkin saja bisa menyejukkan pikiran. Aku dan Ima sedari dulu memang lebih suka hening, kita akan bicara jika memang di perlukan, tidak setiap saat kami akan bercanda ria seperti yang Maysaroh atau Tita lakukan. Namun, ada saatnya pula kita akan bertingkah kekanakan, bahkan mungkin lebih absurd dari dua temanku yang sudah memiliki suami itu.

"Ra"

"Hm?"

"Pasti capek ya" aku hanya tersenyum, mataku tak lepas dari pemandangan indah di depan. Daripada memikirkan hal yang menyakitkan lebih baik menikmati indahnya ciptaan Tuhan, bukan?

"Selama sepuluh tahun ini dia benar-benar nggak menghubungi kamu?" Aku mengangguk. "Sama sekali?" Tanyanya lagi tak percaya. "Nggak juga sih sebenernya, pas awalan mungkin sekitar sebulan, dia tetap menghubungiku tapi setelah itu kami lost contact"

"Kok kamu bisa tahan sih?"

"Nggak tau juga"

"Kenapa nggak berhenti aja sih Ra?"

Bibirku melengkung, tersenyum miris. "Kalo bisa udah aku lakuin dari dulu"

"Mau sampe kapan Ra?"

Aku tersenyum kecut. Pertanyaan itu juga sering mampir ke kepalaku, bahkan mungkin setiap hari. "Nggak tau"

"Aku bakal terus doain yang terbaik buat kamu. Semangat ya" kepalaku berputar, kali ini aku menatapnya, senyum tipis terukir di wajahku. "Pasti"

"Nanti kalo udah nyerah, kamu hubungi aku, bakal tak cariin jodoh yang ganteng buatmu" ujarnya seraya terkekeh.

Aku berusaha tersenyum. Tidak ada yang berubah dari mereka, tetap ramai saat berkumpul, tetap peduli, tetap memberi nasihat-nasihat, dan tetap menyemangati. Poin terakhir amat berharga bagiku, karena dengan itu aku merasa tidak pernah sendirian. Sehancur apapun hatiku nanti saat menerima suratan takdir, aku masih dan akan tetap memiliki mereka yang akan selalu menggenggam tanganku erat, menguatkan hatiku, dan merangkul jiwaku dengan kalimat-kalimat membangun. Tiada yang lebih indah dari takdir Allah yang dengan baiknya menyatukan aku dengan mereka.

Same [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang