6. Raketku Mana?

33 9 5
                                    

Aku cukup bahagia dengan pekerjaan sampinganku sebagai pencari cogan tanpa melibatkan perasaan .
-Naymira

*****

Sekitar lima menit sebelum bel istirahat selesai bu Nur sudah ada di kelas bersama dengan mang Miskad-petugas kebersihan di sekolahku, katanya untuk memasang lampu.

Memang benar lampu di bagian kanan itu sudah mati sekitar empat hari yang lalu, sebenarnya tanpa memasang lampu-pun kelasku sudah terang tapi ya dasarnya bu Nurlaeli, si guru perfeksionis rempong yang kebetulan jadi wali kelasku, beliau tidak ingin ada yang kurang dari kelasnya.

"Ini mang disini" kata bu Nur, mang Miskad mengangguk patuh tangannya cekatan menaikkan kursi ke atas meja.

Mang Miskad naik ke atas kursi, sementara Hadi menahan kursi agar tidak goyang. Tangan mang Miskad memutar-mutar lampu secara perlahan, aku memperhatikan dengan seksama, entahlah aku pikir ini menarik. Mataku tak lepas dari gerak-gerik jemari mang Miskad yang kini masih memutar lampu secara perlahan.

"Mingkem woy!! Mingkem!! Mangap-mangap bae" Hadi berseru-seru jengah. Untungnya saat ini bu Nur sudah pergi meninggalkan kelas, jika tidak... ck ck ck habislah riwayatnya.

Aku mendelik tajam.

Aku tersindir, tentu saja.

Hadi balas menatapku menyeringai, ingin sekali aku mengolesi wajahnya dengan sambel terasi yang biasa dibuat ibu.

*****

Materi pelajaran olahraga kali ini adalah bulu tangkis, seperti minggu lalu. Perbedaannya jika minggu lalu hanya pemaparan materi dan praktek percobaan, kali ini pengambilan nilai. Sebenarnya aku nggak suka jika sudah pengambilan nilai karena aku tuh lemah, bukan dalam artian fisikku yang cepet sakit, tapi lebih kepada aku yang gak pernah bisa mahir dalam segala jenis praktek olahraga, sebel aja gitu kalo nilaiku yang paling kecil di kelas.

Menghembuskan nafas, aku mengayun-ngayunkan raketku gelisah.

"Minjem dong?" Seorang laki-laki yang ku ketahui berasal dari kelas XII IPA 6 bertanya pada Maysaroh. 

"Gak mau, mahal"

"Ayolah... lo nambah cantik kalo bantu gue"

"Gak mempan sama gombalanmu, Mas"

"Masa iya?"

Maysaroh mengangguk.

"Minjem ya, please" mata belonya mengerjap membuatku jijik, tangannya menangkup diletakkan di depan dada. Sok imut.

Kulihat Maysaroh menyipitkan matanya lalu dengan enggan ia menyerahkan ah, ralat meminjamkan raketnya pada laki-laki itu. "Awas kalo lecet"

"Tenang aja, gue bakal jagain raket lo kaya gue jaga nyawa gue sendiri" katanya sambil terkekeh.

"Masa iya?"

Laki-laki itu mengangguk "Sekalian pinjem punya temen-temen lo ya"

"Bilang sendiri sana"

Setelah adegan bujuk rayu sana sini, akhirnya aku menyerahkan raketku padanya. Biarlah, hitung-hitung nyenengin hati anak orang. Karena aku ingat salah satu hadist Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa "sebaik-baiknya manusia adalah dia yang memberi manfaat kepada orang lain". Eh nyambung gak sih?

Kegiatan selanjutnya adalah menonton anak-anak kelas IPA 6 main bulu tangkis. Cukup terhibur, karena mereka mainnya cukup seru, ditambah lagi adanya adegan-adegan refleks dari mereka yang sukses membuat aku tertawa.

"IRAAA"

"NAYMIRAAAA"

Seperti ada yang memanggil namaku.

Sebentar...

Aku mengedarkan pandanganku dan berakhir pada sosok gadis berkacamata yang kini sedang melambaikan tangannya sambil tersenyum lebar, dia temanku.

"Gue kesana dulu ya" kataku pada mereka-Blaise.

Aku menemui temanku saat kelas XI, namanya Juli, dia teman sebangku-ku yang pintar, meski bukan menjadi yang pertama di kelas, tapi dia termasuk dalam jajaran orang-orang yang diperhitungkan dalam urusan contek-mencontek.

Cukup lama aku berbincang dengannya, mulai dari ngobrol tentang pelajaran, selebriti Indonesia, sampai gebetannya si Juli yang tak kunjung menembaknya.

Saat aku kembali ku lihat mereka sudah mendapatkan raketnya masing-masing. Lalu punyaku mana?

"Raketku mana?"

"Diii shopie... pie... pie... pie... semua ada... da... da... da..." Tita bernyanyi riang sambil menggerakkan tangannya sedemikian rupa, hingga membuat Ima dan Maysaroh terbahak sebelum akhirnya mengikuti gerakan Tita sambil bernyanyi riang.

Jika saja keadaannya berbeda, aku pasti sudah mengikuti gerakan mereka sambil terbahak juga. Tapi sayangnya, kali ini aku sedang takut. Bagaimana jika raketku hilang? bisa abis aku dimarahin ibu.

"Ih serius! Raketku mana?" Aku merengek membuat mereka menghentikan aksinya.

Belum sempat mereka menjawab, aku sudah membalikkan tubuhku karena merasa ada seseorang yang mencolek bahuku.

"Apasih colek-colek? Dikira aku sambel apa?" Semburku kesal, sungguh bukannya lebay, tapi saat ini pikiranku kalut, hanya terpusat pada pertanyaan 'dimana raketku?'

Sekumpulan laki-laki berpeci itu terkesiap sebentar sebelum akhirnya terbelah menjadi dua bagian menciptakan sebuah jalan yang menampilkan seorang laki-laki yang membawa raketku? Benarkah itu raketku? Aku harus mengerjapkan mataku berkali-kali.

Lalu gerakan slow motion terjadi saat itu, layaknya sebuah FTV dimana adegan seorang laki-laki yang hendak menembak sang perempuan sambil membawa se-buket bunga mawar merah.

Tapi maaf, ini realita bukan fiksi.

Aku menatapnya datar saat dia sudah ada di depanku. Ini memang kebiasaanku, jarang berekspresi saat berinteraksi dengan orang asing. Terlebih dia laki-laki.

"Ini raketnya, nuhun nyak... makasih" katanya dengan nada yang menurutku sok lembut, sok imut, dia tersenyum lebar. Sedetik kemudian koor terjadi kala teman-temannya bersorak "CIEEEE"

Tidak ada yang tau bahwa saat itu aku merasa dejà vu.

Aku menarik cepat raketku yang berada di tangannya lantas mengangguk pelan sebelum akhirnya berbalik, melangkah menuju lapangan bulu tangkis dimana teman-teman sekelasku sudah berkumpul.

Sementara teman-temanku-Blaise menggodaku, aku hanya diam. Aku nggak blushing, sumpah! Cuma deg-degan aja.

Ya gimana dong, aku tuh jomblo udah 15 tahun lebih dan jarang banget interaksi sama laki-laki, apalagi disenyumin kaya tadi, mana ngomongnya alus lagi.  Doakan saja agar aku tidak baper. 

Astagfirullahal'adzim... berulang kali aku mengucapkannya berharap disko di jantungku ini lekas usai.

Nyatanya, meski disko di jantungku telah usai, pikiranku masih tertuju pada laki-laki pembawa raket itu. Aku ingat wajahnya. Rambutnya keriting ditutupi peci hitam yang agak tinggi dari peci biasanya, alisnya tebal bak bulu karpet masjid dengan bentuk yang tidak rapi, matanya tajam, hidungnya mancung bak perosotan anak TK, bibirnya pas, tidak tipis tidak tebal. Ganteng tidak? Aku tidak tau. Tiba-tiba saja otakku blank untuk menilai apakah dia ganteng atau tidak. Tapi ku pikir dia termasuk golongan anak bandel di lihat dari gaya berpakaian dia yang jauh dari peraturan sekolah, benar-benar tidak rapi dengan baju yang selalu di keluarkan tanpa dasi, belum lagi sepatunya yang berwarna merah terang, menambah daftar pelanggaran dia terhadap tata tertib sekolah.

Ya Allah... jangan biarkan aku baper Ya Allah...

Bukan apa-apa, aku cukup bahagia dengan pekerjaan sampinganku sebagai pencari cogan tanpa melibatkan perasaan. Aku tidak mau ribet dengan adanya cinta-cinta-an seperti anak muda jaman sekarang. Aku tidak tertarik.

Aku tidak mau patah hati, lagi.


A/N:
Mingkem: tutup mulut
Mangap: buka mulut

Same [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang