Bab 19 Karma dan Amnesia

25 2 1
                                        

      

    Aku meninggalkan toilet dan menemukan Alisa sedang menungguku sendirian dengan raut wajah yang masih tampak kesal.

    “Ada masalah apa...?” Aku bertanya.

    “... Kak. Apa hari ini kamu mau pergi ke suatu tempat?”

    “Kamu menguping pembicaraan kami?”

    “Iya. Tapi, aku tak bisa mengikuti alur percakapan karena aku hanya mendengar suaramu.”

    “Begitu, ya...”

    “Kak?”

    “Apa?”

    “―Siapa Manis Kemuning itu?”

    Ia langsung menembus jantung persoalan ini, yang membuatku terdiam untuk beberapa saat.

    Sepertinya ia bisa menyibak kata kunci penting dari percakapan telepon kami.

    “Aku selalu memperhatikanmu, Kak, itu sebabnya aku bisa tahu kalau ‘Manis Kemuning’ adalah inti dari kekhawatiranmu, dan semua kekhawatiranmu terhubung ke Kak Silvia dengan suatu cara tertentu. Aku mohon, terbukalah padaku. Apakah ‘Manis Kemuning’ itu ada hubungannya dengan kematian Kak Silvia?”

    “... Di mana Talita?” Tanyaku sambil menghindari tatapannya dan mencari sosok temannya yang mungil itu.

    “Ia pulang ke rumah. Aku bilang padanya kalau aku tidak bisa pulang bareng sama dia,” ia menjawab pertanyaanku, dengan hati yang kukuh dan tetap melarangku untuk berpaling darinya.

    Aku tahu dari tatapannya kalau ia takkan membiarkanku pergi kemana-mana hari ini, dan di dalam mata jernih dan indahnya, aku bisa melihat diriku―seseorang yang pengecut, bodoh, tak berdaya, putus asa, dan orang yang meratapi penyesalannya―tercermin di matanya.

    Bagaimana bisa ia menyukai diriku dengan pandangan dari mata yang sangat jernih dan cantik miliknya?
Kamu pasti buta, Alisa...

    “Alisa...”

    Dihadapkan dengan mata suci tak berdosanya, aku menyadari aku telah berhutang suatu kejujuran untuknya.

    “Apa?”

    Pada tahap ini, ia tidak akan meminta. Ia akan mengikutiku ke SMA Gerhana dengan atau tanpa persetujuanku dan ia tidak akan menyerah. Ia bahkan tidak berpikiran untuk menyerah.

    Alisa adalah seorang gadis cantik. Ia bisa berpacaran dengan siapapun yang ia inginkan. Tidak ada alasan baginya untuk membatasi dirinya karena aku, ia bisa dengan mudah menemukan cinta di mana ia bisa bersikap lebih leluasa dan alami.

    Aku tidak bisa membiarkannya terus-terusan begini.

    Itu sebabnya aku merasa aku berutang sebuah jawaban yang tulus namun kejam untuk perasaaannya.

    Aku tidak bisa melihatmu sebagai seseorang dari lawan jenis,” kataku.

   Matanya terbuka menanggapi kata-kataku.

   “Aku tidak akan pernah. Kamu tidak akan pernah mendapatkan tempat khusus di hatiku.”

    “Kak?”

    “Hatiku hanya milik Silvia. Aku hanya miliknya seorang, dari ujung kepalaku hingga ke ujung kakiku. Kami berdua adalah satu. Kamu tidak dapat menggantikannya. Kamu tidak dapat memuaskanku. Apa kamu mengerti? Inilah aku. Aku tidak akan pernah menjadi apa yang kamu inginkan. Tidak akan pernah.”

    Alisa sama sekali tak berkata-kata dan hanya terus-menerus membuka dan menutup mulutnya. Dia menatapku erat, matanya memerah, tinjunya terkepal, dan tubuhnya gemetar.

Bunuh DiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang