Aku berlari menuju rumah Panji sembari berusaha mendinginkan kepalaku. Aku membutuhkan akal sehat untuk memastikan kebenaran yang aku cari, dan seharusnya aku bisa melakukannya, karena aku telah membutktikan sendiri dengan menekan kemarahanku ketika berbicara dengannya.
Tenang. Pertama-tama, aku harus menenangkan diriku. Kemarahan tidak akan mengubah apapun. Takdirku masih tetap sama.
Akhirnya, aku berhasil mendapatkan kembali ketenanganku tepat saat aku tiba di tempat tujuanku.
Aku menekan bel rumahnya.
Tak lama seorang wanita yang tampak seumuran ibu angkatku membuka pintu dan menjawab, “Siapa, ya?”
“Mmm... namaku Cikal. Ah, iya. Aku teman sekelasnya Panji.” Setelah aku memperkenalkan diriku, beliau mempersilahkanku masuk ke dalam rumah.
Kami duduk di sofa tua yang empuk. Segelas teh manis dan beberapa jenis kue kering ditempatkan di atas meja.
“Aku.. sangat terkejut...” jelasku dengan raut wajah sedih.
Aku mengoceh betapa berdukanya aku atas kematian Panji.
Ini tidak sulit untuk sekedar berbasa-basi. Aku hanya perlu membesar-besarkan perasaanku, karena aku sebagai teman sekelasnya yang terkejut dengan kepergiannya yang mendadak. Ibunya mengangguk mendengar kata-kataku sembari menitikkan air mata.
“Sejujurnya, aku datang ke sini karena aku punya sebuah permintaan,” ujarku langsung ke titik masalah setelah aku merasa basa-basi kami sudah cukup.
“Iya. Apa itu?”
“Aku ingin tahu apa yang Panji pikirkan, apa yang dia cemaskan, dan aku ingin mendengar langsung kata-kata terakhirnya sebelum dia mengakhiri hidupnya. Oleh karena itu, bolehkah aku―”
Kemungkinan besar sudah ada orang lain yang melihatnya. Jika tidak, maka tidak akan ada rumor mengenai hal itu di sekolah, dan beliau tampaknya tak menyadari kalau aku membohonginya. Aku tidak melihat tanda-tanda beliau akan menolak permintaanku.
“―membaca pesan kematian yang ia tinggalkan?”
***
Aku mulai berkeliaran tanpa tujuan setelah aku meninggalkan rumah Panji.
Semuanya adalah kebohongan, kebenaran, dan kenyataan yang kejam.
Masa lalu dan masa depan hidup saling berdampingan. Semuanya menyiksaku.
Lukaku semakin bertambah parah.
Ini menyakitkan.
Tapi tak ada lagi darah yang tumpah. Tak ada satu tetes pun.
Aku sudah menyusut.
Aku kering seperti debu, dan apa yang masih tersisa dariku dapat dengan mudah terhapus.
Saat aku melihat ke langit warna-warni yang menyilaukan, aku mengingat pesan kematian yang ditinggalkan oleh Panji.
“Ibu, ayah, dan untuk semua orang yang mengenalku. Tolong maafkan aku karena telah meninggalkan kalian begitu cepat.
Saat ini aku sedang memegang penaku, dan meskipun aku telah merenungkannya cukup lama, aku masih tak tahu apa yang harus aku tulis.
Sebagai permulaan, izinkan aku menuliskan alasan mengapa aku membunuh diriku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunuh Diri
Mystère / ThrillerIa tergeletak tak bernyawa tidak jauh di depanku. Darahnya berhamburan ke setiap sudut lantai. Tidak seperti bunga, yang dikatakan indah meski setalah berhamburan, ia tak menampilkan emosi sedikit pun pada wajahnya. ―Benar,saat itu Dia bertabura...