Bab 30 Pandu dan Sebuah pertanyaan: 'Apakah dia benar-benar sudah mati?'

14 2 0
                                    


    

    “Maaf, apa kamu... pernah mendengar namaku di suatu tempat?”

    “Hah?”

    “Aku telah mengambil alih posisi OSIS dari Kemuning. Jadi aku pikir ia mungkin... pernah menyebutkan... namaku.”

    “Hmm... aku rasa tidak.”

    “Begitu, ya...,” gumam Tania dengan raut wajah kecewa.

    Ia pasti telah menyimpulkan kalau ia tidak cukup penting bagi Kemuning untuk layak menyebutkan namanya.

    “Ya, Kemuning juga tidak pernah membicarakan tentang orang lain.”

    “Dia tidak membicarakan orang lain...?”

    “Ya.”

    Alasanku sudah cukup untuk membuatnya tersenyum lagi. Dasar bodoh.

    Memang benar Kemuning hampir tidak pernah membicarakan tentang orang lain. Bahkan, aku tidak ingat pernah mendengar tentang reputasinya di sekolah.

    Hm... kenapa aku tidak menanyakannya saja pada gadis yang ada di depanku ini? Pastinya sebagian besar reputasinya bernilai positif di matanya.

    “Orang seperti apa Kemuning di sekolah?”

    “Seseorang yang sangat indah,” balas Tania tanpa ragu.

    “... Indah dalam hal apa?”

    “Aku tidak bisa menjelaskannya. Semua yang ia lakukan sangat indah... pokoknya, dia adalah... panduan kami, tujuan kami, dan dewi kami.”

    “...”

    Aku sudah siap mendengar pendapat positif, tapi Tania ternyata lebih intensif dari yang aku kira. Matanya berkilauan dengan kekaguman―dan bahkan memukulku sebagai kekosongan―saat ia berbicara tentang Kemuning. Ia bisa di sebut sebagai ‘penyembah’ atau ‘pemuja’ Kemuning.

    Di sisi lain, di suatu tempat aku dapat memahaminya. Jika Kemuning tidak tampak sebagai manusia bahkan untuk keluarganya, maka ia pasti dapat membuat kesan dewi pada orang lain. Bahkan di Sekolah Amaris, semuanya terdiri dari perempuan, berasal dari keluarga kaya, dan tinggal di asrama. Aku tidak bisa membayangkan pengaruh Kemuning pada sekolah dengan sistem sangat tinggi itu.

    Tiba-tiba, aku teringat percakapanku dengan Kemuning dan merasa bergidik lari ke tulang belakangku.

    “... Tania?”

    “Ya?”

    “Kamu tidak ada di sana ketika Kemuning melompat dari atap, kan?”

    Aku segera menyesalkan pertanyaanku. Tania adalah ‘pemuja’ Kemuning dan aku pikir membicarakan tentang kematian idolanya agak kejam.

    Namun, ketakutanku terbukti tidak berdasar. Secara sempurna, gadis itu menjawab.

    “Tidak, aku tidak ada di sana.” Merasa lega karena ia ternyata tidak sefanatik yang aku bayangkan, aku mengajukan pertanyaan lain.

    “Lalu... apakah kamu pikir Kemuning bunuh diri?”

    Selama percakapanku dengan Kemuning, aku menyimpulkan akibat kematiannya karena pembunuhan, tetapi penilaianku mungkin salah. Jika ia menyadari ketidakpeduliannya pada orang lain―dan ketidakpeduliannya terhadap tindakan bunuh dirinya―maka akan memungkinkan dia dengan sengaja menyesatkan pemikiranku ke arah pembunuhan.

    Tapi, mengapa ia melakukan hal itu?

    Bagaimana jika penilaian awalku tidak salah?
Bagaimana jika ia dibunuh dan tidak bunuh diri?

Bunuh DiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang