Bab 35 Tania dan Hari Pertama Bulan Desember

13 2 0
                                    


Setelah kami berkumpul di ruang OSIS, kami berbincang sangat lama. Tentang Kemuning. Tentang pengabdian kami untuk Kemuning. Tentang cinta tanpa pamrih untuk Kemuning. Tentang hubungan kami dengan Kemuning. Tentang kebutuhan kami untuk Kemuning. Tentang pentingnya Kemuning. Tentang perihal kematian Kemuning. Tentang mengapa Kemuning menghilang. Tentang pengaruh Kemuning pada masa depan kami. Dengan cara ini, kami memperdalam keyakinan kami pada Kemuning dan menyelaraskannya dengan yang lain.

"Kiki?"

Aku memutuskan untuk memulai dari Kiki, target yang paling mudah, karena dia teman sekelasku, teman sekamarku, dan sekretaris OSIS. Tidak hanya aku bisa memprediksi jawabannya, dia sangat membutuhkan Kemuning. Dia juga jadi contoh tepat untuk yang lain.

"Apa kamu punya momen saat-saat kamu merasa lelah hidup di dunia ini?"

Matanya melebar karena aku menimbulkan pertanyaan yang tak terduga. Aku sudah tahu apa jawabannya.

Sambil melihat perban di pergelangan tangannya, dia menjawab,

"...sepanjang waktu."

Aku mengangguk dengan belas kasih. Gadis-gadis lain, yang telah berbicara dengan satu sama lain, mulai memberikan perhatian mereka.

"...Apakah kamu juga kadang-kadang merasa seperti ini, Tania?"

"Tentu," aku menjawab.

"Itu sedikit mengejutkan."

"Apakah aku tidak terlihat seperti orang yang bosan hidup?"

"Mm. Maksudku, kamu pandai, luwes, dan cantik. Kamu... akan bisa menjalani masa depanmu dengan baik. Aku berpikir orang-orang sepertimu tidak akan berpikir seperti itu."

"Menjalani masa depan...?
Mungkin bisa dibilang begitu. Tapi bagaimana kalau itulah sebabnya aku menderita?"

"...Hah?"

"Aku pandai. Aku juga cukup populer untuk bisa terpilih menjadi ketua OSIS, meski aku mendapatkan dukungan dari Kemuning. Aku tahu cara untuk menjalani hidupku. Aku seorang realis. Karena itu, aku tidak percaya pada apa pun dan juga tidak bergantung pada apa pun."

Membicarakan tentang dirimu terlebih dahulu adalah trik umum untuk memecahkan es. Ini akan membuka hati Kiki.

"Aku mengerti hidupmu tidak begitu mudah," kata Kiki, dan ragu-ragu menambahkan,

"...Tapi, apakah itu membuatmu benar-benar menderita?"

"Ya! Bila kamu seorang realis, kamu akan kehilangan kemampuan untuk bermimpi. Contohnya, aku ingin menjadi seorang penulis novel. Dalam hal ini, aku akan sadar kalau itu hanya sia-sia bahkan sebelum aku mencobanya. Ada ribuan dan ribuan calon penulis, tetapi hanya sebagian kecil dari mereka yang bisa menerbitkan bukunya. Karena posisiku sebagai ketua OSIS, aku seringkali mengamati semua murid dari atas panggung. Ada hampir lima ratus murid. Itu jumlah yang sangat banyak! Jika hanya satu dari mereka yang mempunyai bakat menulis, berapa banyak yang gagal?
Apa aku punya bakat menulis?
Tentu saja tidak. Aku bukan orang yang pandai dalam segala hal."

"...Mm..Mm..." Kiki menggangguk.

"Bila kamu seorang realis, kamu akan melihat ke atas, dan ketika kamu melihat ke atas, kamu akan melihat langit yang tak berujung. Mengapa aku memiliki hak istimewa untuk pergi ke atas?
Bagaimana aku bisa melambung ke langit saat aku hanya bisa merangkak di tanah? Apa kamu mengerti, Kiki?
Ini adalah rasa sakit yang realistis."

"...Aku rasa aku mengerti."

"Hal tragis seperti pelecehan anak, perceraian dan kecelakaan bukan satu-satunya hal yang membuat kita menderita. Aku rasa itu adalah kejadian sehari-sehari yang sering kita jumpai yang benar-benar menyiksa kita."

Bunuh DiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang