Bab 26 Tamu dan Sekutu

12 2 0
                                    

   

    “Maafkan aku atas kunjungan mendadakku, Eris. Aku pasti sudah mengejutkanmu.”

    “Aku tidak keberatan... tapi, apa yang membawamu kemari?”

    Aku mencoba menebak alasan dia untuk mengunjungiku... tapi aku gagal menemukan alasan yang masuk akal.

    Kemuning memperlakukan semua orang dengan sama.

    Tentu saja, di matanya aku hanyalah salah satu dari orang-orang itu. Oleh karena itu, tidak ada alasan baginya mengunjungiku.

    Namun, kenyataannya, saat ini ia sedang berdiri di depanku sambil tersenyum.

    “Apa kamu akan berbaik hati membiarkanku masuk?
Aku tidak keberatan berbicara di sini, tapi aku yakin kamu lebih memilih untuk berbicara di dalam ruangan dan tidak ingin keluargamu mendengar percapakan kita.”

    “I... Iya... tentu saja,” kataku, menyetujuinya tanpa ada pilihan lain.

     Meskipun cara berbicaranya sangat sopan, ia tampaknya tidak mentolerir perbedaan pendapat apa pun.

    “...”

    Kenapa aku mendadak menjadi gugup? Tenanglah. Ia hanya teman sekelas yang datang ke rumahku. Itu saja.

    Namun―

    Setiap orang yang mengenal Manis Kemuning―pasti akan berpikir seperti ini: pasti ada alasan yang sangat penting baginya sampai harus repot-repot mengunjungi rumahku.

    Aku memandu Kemuning ke kamarku. Setiap jejak langkahnya begitu harmonis, menatapnya dari jarak sedekat ini mampu mengacaukan ritme detak jantungku sendiri, berdebar-debar tak jelas. Ketika aku berpikir berapa juta rupiah yang akan didapat dengan menjual rambut hitamnya yang indah ke toko perhiasan, kami sudah sampai di depan kamarku.

    Aku membiarkannya memasuki kamarku.

    “Wah, ruangan yang indah,” ia memujiku dengan senyum yang lembut dan tulus, memuaskan kebanggaan yang aku miliki pada tata letak kamarku dengan lembut.

    Ia berhasil membangkitkanku hanya dengan memuji diriku.

    Aku memintanya duduk di sofa merahku yang amat berharga. Ia menerima tawaranku dengan sopan dan duduk dengan cantiknya. Untuk sementara, kami berbicara tentang kamarku, sampai Talita datang dan membawakan kami teh hitam serta beberapa jenis camilan. Dihadapkan dengan wajah cantik Kemuning, Talita terkejut dan pipinya merona ketika Kemuning memberinya senyuman.

    Setelah menunggu Talita pergi dan meneguk teh hitam, Kemuning berkata sembari tersenyum:

    “Ini telah menjadi perhatianku, akhir-akhir ini kamu terus memandangiku dengan cara yang aneh.”

    Ketika aku mencoba untuk menenangkan hatiku yang masih terus berdebar-debar, aku melihat Kemuning secara lebih dekat tetapi gagal untuk membaca ekspresi lembutnya.

    Aku mulai merenungkan. Bila keluhan Tania merupakan kesimpulan umum dan bukan hasil dari pikiranku yang terdelusi, maka akan sangat mungkin kalau Kemuning merasa tersinggung dengan tatapanku juga.

    Bagaimana jika keinginan untuk menyakitiku terletak tersembunyi di balik senyumannya yang sempurna itu?
Tidak, bukan begitu.

    Kemuning mengunjungi rumahku. Kenapa? Jawabannya sederhana.

    Untuk menyerangku.

    “Ah, maaf. Aku tidak bermaksud menyalahkanmu,” katanya, mungkin ia menebak apa yang sedang aku pikirkan.

Bunuh DiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang