Pertama kali dia memenuhi jiwaku adalah berkat dentingan melodi yang ia mainkan.
Lenganku dipenuhi dengan materi ajar, aku berjalan melalui koridor kosong, menggerutu dan mengeluh.
“Aku tidak percaya ini. Dia pasti berpikir ketua OSIS itu adalah pembantu gratisan yang bisa seenaknya disuruh-suruh...”
Berat sekali. Kenapa seorang guru akan membuat gadis lembut sepertiku membawa begitu banyak materi ajar?
... Ah, benar, aku lupa, itu karena di Sekolah Amaris tidak ada satu pun anak laki-laki. Argh, menjengkelkan. Meskipun ada atau tidak anak laki-laki di sekitar sini, tidak akan ada perubahan.“Dan lagipula, siapa juga yang akan memberikan bantuan untukku, kan?”
Ini baru seminggu sejak aku datang ke sekolah ini, tapi aku yakin kami sudah berteman dengan cukup baik, dan seharusnya ada seseorang yang akan membantuku. Mungkinkah aku belum sepenuhnya mengintegrasikan diri ke jaringan sosial yang rumit yang telah terbentuk karena singularitas dari lingkungan Sekolah Amaris?
... atau mungkin mereka hanyalah sekelompok pemalas.
Aku meletakkan materi ajar sejenak dan bersandar di dinding.
“Untung kalian berguna buat pendidikan, kalau tidak, aku sudah membuang kalian semua ke tong sampah,” gerutuku saat aku memarahi materi ajar yang ada di hadapanku, dan menendangnya.
[Pling]
Seketika aku mengejang. Nada piano yang secara tiba-tiba dimainkan itu seolah-olah untuk menghukumku saat aku melampiaskan rasa frustasiku.
Maaf kan aku karena telah melampiaskan kemarahanku pada materi ajar yang tidak bersalah ini!
Aku mengangkat tumpukan materi ajar itu sekali lagi―tapi saat aku hendak berjalan pergi, suara dentingan piano itu membuatku tak berkutik.
Ini―Indah sekali.
Penggalan nada ini pasti
“Heroic Polonaise” dari Chopin.
Aku hampir mengetahui semua musik klasik, karena aku mengikuti kursus pelajaran piano saat masih di sekolah dasar, aku juga cukup tahu komposer lainnya, dan aku juga bisa menilai keterampilan pianis.
Ada tingkat tertentu yang tidak dapat dicapai hanya melalui usaha tetapi membutuhkan bakat dan individualitas. Aku tidak mempunyainya, tapi dia punya. Musik yang ia hasilkan sangat unik. Ada sesuatu yang mengusikku, biasanya performa hebat seperti ini akan mengungkapkan emosi si pemain piano. Di sini adalah kebalikannya. Aku tidak bisa melihat jejak emosi si pemain piano, namun musiknya mencapai batinku. Rasanya menembus jiwaku. Suaranya terasa... hampa. Meskipun terasa palsu, aku tidak dapat menyangkal ada sesuatu yang istimewa mengenai hal ini. Jika aku membandingkannya dengan sesuatu―
―maka itu adalah air.
Musik memenuhi diriku bagaikan air.
Dipandu oleh musik dari piano, aku berjalan ke ruang musik. Karena Sekolah Amaris bertujuan untuk menjadi sekolah dengan kelas sosial yang agak tinggi, cukup banyak murid yang belajar bermain piano, dan hasilnya, ada 3 ruang praktek dengan masing-masing piano di dalamnya. Musik yang sedang dimainkan ini berasal dari ruang kedua, tapi aku tidak bisa melihat murid lainnya di sekitar sini. Mungkinkah seorang guru yang gagal menjadi seorang pianis sedang diam-diam memainkan piano?
Aku mempersiapkan diri terlebih dahulu untuk berjaga-jaga jika yang berada di dalam adalah benar-benar seorang guru, dan mengetuk pintu. Aku pikir jika aku memuji kinerjanya setinggi langit, pemain piano itu tidak akan marah karena aku telah mengganggunya, tapi nyatanya ia tidak berhenti memainkan pianonya. Mungkin... ketukan pintuku tenggelam oleh suara musik, pikirku, dan karena itu langsung membuka pintu sambil berteriak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunuh Diri
Misterio / SuspensoIa tergeletak tak bernyawa tidak jauh di depanku. Darahnya berhamburan ke setiap sudut lantai. Tidak seperti bunga, yang dikatakan indah meski setalah berhamburan, ia tak menampilkan emosi sedikit pun pada wajahnya. ―Benar,saat itu Dia bertabura...