Bab 39 Kemuning dan Gadis Dalam Cermin

56 3 1
                                    




Sudah bertahun-tahun aku tidak melihat diriku di cermin.

Bukannya aku, cermin meja riasku malah menampakkan sesosok makhluk yang menyerupai diriku. Tak perlu dikatakan, ini bukan suatu mekanisme yang telah dibangun ke meja rias antikku, namun bayanganku hilang dari cermin yang sedang aku lihat sekarang.

Bayangan asing yang menyerupai diriku tersenyum padaku.

"Percuma saja kamu membenci aku!" Gadis dalam cermin berkata dengan senyum indah yang membuatku kesal. Sekali lagi: Dia bukan lah diriku, tetapi sosok yang secara visual menyerupai diriku.

"Sebab aku sudah terikat denganmu."

Mengapa jadi begini?
Dia selalu berada di sekitarku, tapi selagi dia melayang di atasku seperti bayangan, dia tidak melekat padaku.

"Kamu tampaknya benar-benar kesal padaku. Apakah kamu tidak berpikir sekarang adalah waktunya untuk berhenti mengabaikanku dan mulai berbicara denganku?" Ia menyarankan.

Jauhkan aku darinya. Berbicara dengannya berarti sama saja aku mengakui keberadaannya, dan mengakui sekali saja dirinya berarti aku menyerah padanya.

Aku tidak akan mengakui atau menerima delusi seperti dirimu.

Bahkan, meski bayanganku tidak bisa lagi muncul di cermin.

"Aku mungkin tidak akan bisa ada di sini tanpa dirimu, tapi tidak seperti kamu, aku tahu tujuanku!"

Apakah aku ingin tahu?
Tidak perlu. Cukup mudah bagiku untuk menyimpulkan jawabannya, karena aku sudah tahu jawabannya.

Tunggu. Menyimpulkan jawabannya?

Ahh, itu tidak benar. Aku tidak tahu alasan keberaadanmu, karena dari awal kamu memang tidak pernah ada.

Aku orang yang rasional, tidak menderita delusi.

"Ya, kamu tahu―"

Tidak. Aku tidak mendengar apa pun.

"Bahwa aku ada―"

bTidak. Aku tidak tahu apa-apa.

"Lagipula―"

"―Ketika semua orang melihatmu, yang sebenarnya mereka lihat adalah aku."

Aku berada di ruang musik kedua, memainkan lagu dari film yang kemarin pernah di tayangkan di televisi dengan menggunakan piano. Para murid yang telah berkumpul di sekitarku menghela napas kegembiraan.

Kenapa aku memamerkan keterampilan bermain piano ku di tempat terbuka seperti ini?

Jelas karena aku diminta untuk memainkannya.

Teman sekelasku ingin mendengar permainan piano ku, jadi aku mulai tampil di ruang musik kedua, menampilkan hasil latihanku selama di rumah. Awalnya aku hanya menggunakan ruang praktek, tetapi penampilanku menjadi populer di kalangan murid hingga guru, dan aku disarankan untuk menggunakan ruang besar ini.

Berkat mereka, aku sekarang dipaksa untuk melakukan ini hari demi hari. Meski aku tidak berencana untuk menjadi seorang pianis.

Dengan gerakan halus, jariku berpindah dari satu kunci piano ke kunci berikutnya. Karena aku telah belajar dari sejak masih kecil, bermain piano terasa seperti sedang menulis.

Alunan musik mencapai telingaku.

Terdengar membosankan seperti biasa.

Mengapa mereka semua terlihat begitu terpikat seolah-olah aku adalah pianis papan atas?
Padahal permainan piano ku begitu buruk. Tidak ada emosi dalam musik yang aku mainkan. Mereka tidak mungkin tergerak oleh sesuatu seperti ini. Aku merasa kesal, seolah-olah aku sedang menonton konduktor apatis.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 14, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bunuh DiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang