Jakarta sedikit berbeda. Hari ini awan hitam kerap menemani langit ibu kota hampir seharian penuh. Sejak semalam hujan rintik-rintik tak kunjung berhenti.
Seorang gadis berkuncir kuda keluar dari taksi. Tangannya menengadah untuk melindungi kepalanya dari rintik hujan. Mata gadis itu memandang sebuah gedung apartemen yang ada di hadapannya. Gedung itu cukup mewah dan luas. Di dekat pintu masuk, ada sebuah kafe kecil, di sebelahnya terdapat sebuah restoran cepat saji yang cukup ternama. Suasana kedua tempat itu tidak cukup ramai, mungkin karena ini bukan jam makan siang.
Gadis berwajah oval itu melangkah masuk ke dalam gedung apartemen. Sesampainya di lobi, dia duduk di bangku tunggu sambil mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan sebuah pesan untuk seseorang. Sambil menunggu pesan balasan, dia menikmati lalu lalang orang-orang yang keluar masuk dari pintu masuk apartemen dan kafe.
"Halo, ini Milly, ya?" sapaan seseorang mengalihkan perhatiannya.
Gadis berjaket rajut itu berdiri sambil menyambut jabatan tangan seorang wanita berambut kecokelatan. "Aku Yenny," kata wanita itu sambil mengukir senyum.
"Oh, saya Milly, Bu."
Yenny menggeleng sambil menahan tawa, "Panggil kak aja, saya belum ibu-ibu, kok."
Milly nyengir. Ada perasaan tak enak hati. Maklum, ini pertama kalinya Milly bertemu dengan Yenny.
"Langsung ikut aku aja, yuk. Udah ditungguin sama... Hm, bisa dibilang bos kamu," ajak Yenny. Dia berjalan tepat di depan Milly. Sedangkan Milly terus mengikuti langkah wanita itu sampai mereka memasuki lift dan tiba di lantai tujuh.
"Harap maklum aja kalau dia agak rewel. Dia emang begitu. Tapi, anaknya baik, kok," ujar Yenny sekedar memberi informasi. Hal itu sukses membuat Milly membayangkan sekaligus berharap-harap cemas. Kira-kira seperti apa majikannya itu?
Selama di dalam lift, Yenny menjelaskan bahwa di lantai tujuh ini semua kamar telah disewa untuk keperluan mereka. Sebenarnya, luas masing-masing kamar tidak terlalu besar. Hanya sebuah kamar biasa yang terdapat kamar mandi serta satu dapur kecil bernuansa bar.
Milly sempat kaget saat memasuki kamar Yenny, pasalnya kamar itu tidak jauh berbeda dengan kos-kosan tempat tinggalnya. Yenny kembali memberi informasi bahwa di apartemen ini hanya sepuluh lantai yang memiliki kamar seperti itu. Sisanya adalah ruangan dengan nuansa rumah seperti biasanya.
"Ini kamarnya," tunjuk Yenny pada sebuah pintu. Milly tidak yakin akan bisa mengingat pintu itu karena pintu lainnya terlihat sama.
"Terus kita mau kemana, kak?" tanya Milly heran karena mereka melewati pintu itu begitu saja.
"Ke ruang basecamp, semua orang biasa kumpul di sana."
Milly melongo. Semua orang? Basecamp? Sebenarnya Milly akan bekerja dengan siapa, sih?
Jujur saja ini pertama kalinya Milly melamar sebagai asisten pribadi. Menurut Reyni, sahabatnya, bekerja sebagai asisten pribadi gajinya lumayan besar. Apalagi kalau bekerja sebagai asisten pribadi artis. Gajinya lebih besar daripada gaji Milly saat bekerja di restoran pizza. Maka dari itu, Milly ingin mencoba pekerjaan ini.
Yenny berhenti di sebuah pintu yang tak jauh dari kamar majikan Milly. Pintu putih itu mulai terbuka diikuti oleh hawa dingin AC yang terasa menggelitik di permukaan kulit. Suara musik—Blank Space dari Taylor Swift—sayup-sayup terdengar saat Milly memasuki ruangan tersebut. Dia melangkah di belakang Yenny. Matanya bergerak memperhatikan sekeliling. Ruangan ini cukup luas. Mungkin ini yang paling luas dari kamar-kamar lainnya.
"Kak, ini Milly. Dia yang akan gantiin Idev buat kerja sama kamu," ujar Yenny membuka pembicaraan pada seorang pemuda yang tengah asik berkutat dengan ponselnya. Pemuda berkulit putih itu sama sekali tak menghiraukan ucapan Yenny.
Yenny menghela napas berat. Berusaha untuk bersabar karena tidak mendapat respon.
"Kak, liat dulu, dong!" pinta Yenny tegas. Pemuda itu dengan kesal menaruh ponselnya, lalu menatap Yenny beserta Milly—yang kini berdiri berdampingan. Pemuda berkaus hitam polos itu memperhatikan Milly secara rinci. Mulai dari wajah hingga penampilannya dari atas sampai ke bawah.
"Yaudah, oke. Asalkan dia bisa ngikutin semua jadwal Smash," ucapnya.
Dia mengambil kembali ponselnya sambil berkata, "Gue Rangga. Mulai hari ini lo jadi asisten pribadi gue."
°°°
Welcome to the new story!
Sedikit cerita,
Ini adalah tulisan gue waktu jaman SMA (2014). Waktu smash masih jaya-jayanya melipir kesana kemari meski sudah kehilangan satu anggota.Cerita ini (dulu) ditulis untuk menuangkan sedikit harapan tentang "mereka" yang sempet kena bully masalah keluarnya sang mantan, gue berharap mereka bisa terus maju seperti mereka yang ada di tulisan ini.
Fyi.
Jiwa smashblast emang udah sedikit memudar. Tapi hal itu nggak meredupkan jiwa-jiwa yang sempat mampir dan sedikit membekas.Semoga cerita ini bisa menjadi harapan baru agar keenam pahlawan itu bangkit lagi.
SELAMAT MEMBACA.
SELAMAT BERNOSTALGIA.
SELAMAT BERHARAP.Tengah malam 00:45
1 Mei 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Pahat Hati
Fanfiction[TAMAT] Bercerita tentang Milly dalam kehidupan barunya bersama enam pahlawan kesiangan. Bisma, Dicky, Ilham, Rafael, Rangga, dan Reza. Enam orang itu tergabung dalam sebuah boyband yang paling disegani di dunia entertainment. Milly bertugas sebagai...