°4

212 19 3
                                    

"Dia pacar gue!" serobot Rangga sebelum Milly berkata lebih jauh.

Entah kenapa tiba-tiba saja Rangga merasa tidak mau kalah di depan Marissa. Rangga tidak mau terlihat sendiri tanpa adanya hubungan spesial di depan gadis itu.

Marissa mengangguk mengerti. Senyum manis masih setia menghiasi wajah cantiknya. Manik mata yang mengenakan softlens berwarna coklat muda itu menatap Rangga dan Milly bergantian.

Milly melirik Rangga, dia benar-benar tidak mengerti, mengapa Rangga malah berkata bohong seperti itu? Pacar? "Ya, ampun, ini cowok gila atau gimana, sih?" Milly membatin.

"Gue kira lo akan selamanya ninggalin Indonesia."

Marissa tertawa kecil, lalu menggeleng, "Gue masih WNI. Lagian gue balik karena ada pekerjaan dan...," Marissa menggantung ucapannya.

"Dan apa?"

Marissa membuang napas, "Intinya ada sesuatu yang harus gue selesaikan."

Rangga menelan salivanya kasar. Merasa asing di depan orang yang jelas-jelas sudah lama dikenalnya. Meski begitu, senyum Rangga masih belum pudar. Ada sesuatu yang membuat wajahnya berbeda saat Rangga menatap gadis itu. Milly pun menyadari kalau atmosfer di sana memang terasa berbeda. Ditambah lagi dengan pernyataan Rangga yang melibatkannya.

°°°

Marissa Viska. Gadis kelahiran Juni yang bekerja di dunia hiburan dengan bakat akting yang tak perlu dipertanyakan. Meski jarang menonton televisi, sejak  beberapa tahun yang lalu, Milly cukup sering melihat Marissa muncul di beberapa sinema televisi. Sejujurnya selama ini Milly hanya hafal wajah. Kalau bukan karena Rangga, mungkin sampai detik ini Milly tidak akan tahu kalau gadis itu bernama Marissa.

Entah kenapa pertemuannya dengan Marissa membuat Milly terus memikirkannya. Ingin menanyakan hal itu kepada Rangga, namun urung karena Rangga terlalu sibuk menghabiskan waktu untuk berbicara pada orang tuanya yang baru saja pulang liburan. Jadi, untuk sementara Milly harus menahan rasa penasarannya itu.

"Mama mau langsung pulang ke Bandung sore ini?" tanya Rangga sambil membantu mamanya membawa koper ke dalam kamar.

Yudith Soekarta, ibunda Rangga yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu tersenyum. "Iya, sayang. Besok mama masih ada arisan, nih."

Setelah membuka pintu, Rangga menaruh koper mamanya tepat di samping tempat tidur. Rangga memutar tubuhnya, menatap Yudith dengan lelah.

"Mama nggak capek?"

Seperti robot yang baterainya masih terisi penuh, Yudith menggeleng dengan senyum merekah yang membuat Rangga malah semakin lelah.

"Ga, kamu tuh kaya nggak tau mama aja. Sibuknya tuh ngalahin anaknya yang udah jelas-jelas beneran selebriti," kata Rully. Pria dengan kaus berkerah berwarna navy itu adalah papanya Rangga.

Rangga geleng-geleng tidak mengerti. Di sisi lain, Milly membantu Yudith membuka isi koper. "Rangga kan cuma nggak mau mama sakit," katanya yang kemudian berjalan menuju pintu.

"Eh? Kamu mau kemana?" tanya Yudith terkejut melihat anak dan suaminya kompak melangkah ke arah pintu.

"Rangga mau temenin papa sebentar."

Setelah berucap seperti itu, pintu kamar tertutup rapat. Diikuti oleh hembusan napas berat dari Yudith. Milly menoleh sebentar, lalu kembali fokus mencari bungkusan yang sempat disebut oleh wanita paruh baya itu saat di loby apartment.

Yudith beralih menatap Milly, "Tante kira Idev masih bekerja sama Rangga. Ternyata sudah ada gadis cantik yang menggantikannya, ya."

Milly terkekeh, "Iya, Bu. Saya sudah sebulan bekerja menggantikan Idev."

Pahat HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang