°30 (END)

79 8 3
                                    

Pintu lift tertutup diikuti dengan suara desah nan lelah milik satu-satunya orang yang ada di sana. Angka berwarna merah di pinggir pintu dibiarkan turun ke bagian paling bawah gedung, menuju ke lantai paling dasar–basemen. Begitu lift terbuka, dia keluar. Berdiri di depan pintu lift yang tertutup rapat. Detik berlalu, dia masih diam di tempatnya. Menatap lantai basemen serta beberapa mobil yang terparkir renggang di sana.

"Gue ngapain keluar?" tanyanya tiba-tiba. Pertanyaan untuk dirinya sendiri.

"Maksudnya apa? Nanti orang-orang ngiranya apa?" lagi-lagi dia bicara sendiri. Wajahnya berubah jengkel. "Terus kalo Bisma ngungkapin perasaannya kenapa? Masalahnya apa sama gue?"

Rangga memutar tubuh, menekan tombol lift. Dahinya mengernyit, berpikir keras, mencari jawaban yang tepat dan sesuai dengan isi hatinya. Namun, dia tetap tak menemukan jawaban.

"Kak, mau pergi?"

Rangga menoleh, mendapati Pak Onang, sopirnya, berdiri di sana. "Pas banget saya mau ke atas, mau kasih kunci." Pak Onang mengeluarkan kunci mobil dan memberikannya pada Rangga.

"Bapak mau pulang?"

Pak Onang hendak pamit, namun urung melihat raut wajah tak biasa milik Rangga. Pak Onang cukup lama mengenal Rangga, beliau dan Rully-papa Rangga-sudah berteman cukup lama. Bisa dibilang Pak Onang adalah saksi kehidupan keluarga Rangga, begitupun sebaliknya. Melihat Rangga seperti itu tentu saja Pak Onang merasa ada sesuatu telah mengganggu pikiran anak laki-laki yang sudah dia anggap seperti anaknya sendiri.

"Lagi ada masalah ya, Kak?" tanya Pak Onang sambil mengikuti Rangga duduk di gundukan trotoar yang menjadi pembatas parkiran basemen.

Rangga memainkan kunci mobil di tangannya. Menatap dalam lantai basemen, tiba-tiba saja dia membayangkan masa depan Milly setelah keluar dari tempat ini. Di dalam pikirannya, dia melihat Milly berpakaian rapi, wajahnya cerah, tersenyum bangga memamerkan keberhasilannya pada Rangga dan teman-temannya.

"Tadi Mas Hendra bilang ke Bapak, katanya Milly mau pindah, ya?"

Rangga menghela napas, suara helaan itu membuat bibir Pak Onang tertarik ke atas. Singkat dan tak tertangkap oleh Rangga. "Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, Kak. Semakin kita dewasa, kita semakin banyak bertemu orang baru, semakin banyak pula kita berpisah."

"Iya, yah."

Pak Onang menepuk pundak Rangga. Membuatnya menatap Pak Onang, "Saran Bapak, kalau kakak ada sesuatu yang mau diutarakan, lebih baik langsung disampaikan ke Milly. Jangan tunggu nanti-nanti," saran Pak Onang terdengar tegas. "Belum tentu kalian akan ketemu lagi dalam waktu dekat. Kalau bisa berikan kesan yang baik juga. Kalau ketemunya baik-baik, berpisahnya juga harus baik-baik, kan?"

°°°

Rangga berdiri di depan lift sambil melempar senyum tipis pada Mbak Gugus. Wanita itu menyapa serta melambaikan tangan dari depan pintu masuk. Setelahnya dia sibuk berbicara pada salah satu pengunjung apartemen.

Rangga terpaku begitu pintu lift terbuka. Di depannya telah hadir sosok Milly bersama dengan Mamanya. Lia membawa koper yang diseret dengan tangan kanan, sementara Milly membawa beberapa kado yang disatukan dalam paper bag besar.

"Ini Rangga ya?" sapa Lia hangat sambil berjalan keluar dari lift. Rangga menunduk sopan.

"Maaf Tante, tadi Rangga..."

"Ah, nggak apa-apa. Maaf ya Tante sama Milly nggak bisa lama-lama, soalnya mau ke-" Lia tersentak, ucapannya berhenti ketika tangan Milly sukses mencubit kulit lengannya.

"Mau ke mana, Tante?" tanya Rangga, tidak menghiraukan Milly yang mencoba memperingati Mamanya.

"Ini loh, mau urus Visa," jawab Lia ikut menghiraukan Milly.

Pahat HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang