°8

162 15 1
                                    

Prasangka Dicky yang berlebihan berhasil menghasut Rangga dan membawa lelaki itu sampai sejauh ini. Mengikuti Milly ke sebuah pemukiman kecil di pinggiran kota Jakarta Timur. Memasuki gang-gang yang membuat mobilnya susah masuk dan terpaksa harus parkir di pinggir jalan.

Rangga mengenakan setelan serba panjang untuk menutupi kulit putihnya yang dinilai terlalu mencolok. Celana jeans, serta hoodie berwarna hitam senada. Rangga sengaja memakai penutup kepala pada hoodie-nya. Rangga juga sengaja mengenakan masker untuk menutupi sebagian wajahnya, takut kalau sewaktu-waktu ada yang mengenalinya sebagai publik figur.

Rangga menemukan Milly menghilang di persimpangan jalan. Belok ke sebuah gang kecil yang hanya muat untuk satu orang pejalan kaki. Kendaraan motor pun tidak bisa melintas.

Gang itu membawa Rangga ke sebuah jalan sedikit lebih besar. Lalu melihat Milly masuk ke sebuah gerbang kecil berwarna keemasan dan membuka sepatunya tepat di sebuah pintu yang Rangga yakini itu adalah tempat kosnya.

Ponsel Milly berdering. Gadis itu masih berdiri di depan pintu, berusaha membuka pintu dengan kunci sambil menerima telepon. "Ya, Rey? Gue udah sampe di kosan. Lo ke sini aja."

"Hm, iya. Nanti sekalian temenin gue ke rumah Bi Aas, ya?" Milly mendorong pintu untuk masuk ke ruangan satu petak nan minimalis itu. Menutup pintu rapat-rapat sehingga dia hilang dari pandangan Rangga.

Rangga yang berada di luar hanya bisa menerka-nerka. Menunggu kedatangan seseorang yang disapa Rey oleh Milly. Entah lelaki seperti apa yang membuat Milly begitu ingin memeluknya. Yang jelas percakapan singkat yang sempat Rangga dengar tadi pagi membuat rasa penasaran bergejolak, mendorong kakinya berjalan hingga ke tempat yang sebenarnya mustahil dia datangi.

Beberapa menit berlalu. Rangga mengangkat kakinya beberapa kali karena merasa pegal. Ingin rasanya Rangga duduk di tenda warung kopi yang berada tidak jauh dari sana. Namun Rangga takut orang-orang akan mengenalinya. Rangga acap kali membuang muka ketika ada orang lewat di depannya.

"Permisi."

Rangga mengangguki seorang gadis yang baru melewatinya. Dari belakang Rangga bisa melihat gadis itu memakai kardigan ungu dengan rambut dicepol asal ke atas. Dia membuka gerbang keemasan yang di dalamnya terdapat beberapa pintu berjejer hingga ke lantai dua.

"Mil, lo di dalem?"

Rangga menoleh mendengar orang itu menyebut nama yang dia kenal. Dilihatnya Milly keluar dari dalam kamar kosnya. Dia tersenyum sumringah sambil mendorong tubuhnya untuk berhambur ke pelukan gadis berkardigan ungu itu.

"Rey!"

Rangga melotot. Menoleh ke kanan dan kiri. Bahkan pandangannya sampai menyapu bersih tempat itu untuk menemukan sosok lelaki. Tetapi nihil, hanya gadis berkardigan itu yang Rangga temukan, juga seorang ibu-ibu gendut yang lewat membawa bungkusan belanjaan sayur.

Rangga mengerjap beberapa kali. Merasakan kejanggalan yang tidak biasa. Apakah gadis itu bernama Rey? Jangan-jangan dia...

"Reyni, lo apa kabar?"

Rangga baru saja berjongkok lantas kaget mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Milly. Rangga berdecak murka. Sial. Jadi, nama gadis itu Reyni? Kenapa juga sapaannya seperti nama lelaki? Hampir saja Rangga mengira kalau teman Milly adalah banci tulen. Saking cantik nan mulus.

"Gue baik, kok. Lo sehat, kan? Gimana pekerjaan lo? Lancar, kan, Mil?" Reyni memborong pertanyaan.

Belum sempat terjawab, perhatian Milly teralihkan oleh desisan dari luar gerbang, "Ssst! Milly."

Milly menoleh, dilihatnya seorang wanita paruh baya yang dikenalnya itu berdesis memanggil. "Kenapa, Bude?" tanya Milly mendekat ke tetangga di depan kamar kosnya. Jarak mereka terhalangi oleh pagar besi.

Pahat HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang