°1

419 28 1
                                    

Milly menghempaskan tubuhnya di kasur. Matanya menatap langit-langit kamar barunya, lalu memejam. Sejenak terlintas raut wajah majikannya yang begitu menjengkelkan.

Rangga. Seorang lelaki berkulit putih bersih dengan rambut yang kaku dan sedikit berjambul karena ulah hair spray. Menurut Milly, jika dilihat dari wajahnya, Rangga pasti sosok yang sangat menyebalkan. Milly yakin lelaki itu pasti akan menjadi beban terbesar dalam pekerjaannya.

Ditambah lagi Rangga terlihat tidak begitu bersahabat. Meski Milly bukan tipe orang yang senang menyaksikan acara televisi, setidaknya Milly pernah melihat Rangga di layar kaca. Hal itu karena sahabatnya, Reyni, adalah salah satu penggemar grup yang digawangi oleh Rangga dan kelima temannya. Jadi, saat Reyni berkunjung ke kosannya, mau tidak mau Milly ikut menyaksikan apa yang sahabatnya saksikan. Termasuk menyaksikan Rangga dan kawan-kawannya di layar kaca.

Rangga di layar kaca terlihat begitu lucu. Bahkan lebih lucu dari teman-temannya yang lain. Dia pandai membaca situasi saat ingin melontarkan candaan recehnya. Meski sedikit—menurut Milly—alay. Tapi, apa yang Rangga lakukan di layar kaca itu cukup menghibur dan mampu mengocok perut penonton.

Tunggu! Milly berpikir seperti itu bukan berarti dia pernah tertawa karena Rangga. Sungguh, Milly berani bersumpah bahwa dia tidak pernah tertawa karena lelaki itu. Menurut Milly, Rangga itu sungguh aneh.

Milly menggertakkan giginya kesal. Lamunannya tentang sang majikan terputus sesaat karena suara ketukan brutal dari luar kamarnya. Terdengar dari tempo ketukannya, seseorang di balik pintu itu pasti orang yang tidak sabaran.

Yenny? Ah, tidak mungkin. Yenny bukan tipe wanita kasar yang tega mengetuk pintu kamar Milly dengan begitu kerasnya. Menurut Milly, Yenny adalah wanita yang baik dan ramah. Oh, ya, satu hal yang pasti, Milly juga bisa melihat itu, Yenny adalah orang yang sangat sabar. Jadi, tidak mungkin kalau orang yang ada di luar sana adalah Yenny.

"Lama banget, sih! Nih, ini jadwal gue sama temen-temen gue."

Milly menerima selembar kertas di tangannya. Sesaat ia menatap lelaki yang berdiri di hadapannya dengan tatapan jengkel. Bodo amat, deh, kalau dia nggak suka. Minimal dia nyadar buat jaga sikapnya walaupun sama asistennya sendiri, pikir Milly.

Mata Milly beralih pada kertas di tangannya. Dia membacanya dengan sistem scanning. Sekilas, namun pasti. Isi kertas itu full, nyaris tak ada ruang di sana. Tanggal-tanggal jadwal di kertas itu begitu padat untuk dua bulan ke depan. Milly menelan salivanya kasar. Membayangkan betapa lelah dan sibuknya dia selama dua bulan itu.

"Itu belum termasuk jadwal dadakan dan jadwal yang di-cancel," Rangga menambahkan.

"Sebentar," Milly mengangkat kertas itu, "Ini jadwal Bapak sama temen-temen Bapak, kan?"

Rangga mengangguk, tapi wajahnya masam, "Sumpah, ya, mbak, saya belum bapak-bapak!"

Milly mendesis, dia ikut memasang wajah yang sama masam, "Sumpah ya, mas, saya bukan mbak-mbak!"

Rangga mendesah kasar, "Oke, gini aja, gue panggil lo pake nama, gimana?"

"Deal. Terus saya manggil..." Milly menunjuk Rangga dengan jarinya, "Dengan sebutan apa?"

"Kakak? Atau Tuan juga boleh," jawab Rangga nyeleneh.

"Kata Allah, panggil pake nama juga nggak dosa," gumam Milly memutuskan secara sepihak.

Rangga melotot, sebelum sempat berbicara lebih jauh, gadis di hadapannya segera mengambil alih dengan cepat.

"Ini, kan, jadwal lo sama temen-temen lo, terus gue harus urus semuanya, gitu?" tanya Milly kembali pada apa yang harus dia tanyakan, dia sungguh tidak peduli dengan kata sapaan yang baru saja terlontar dari mulutnya. Sungguh, dia hanya reflek. Mungkin refleknya ini akan menjadi kebiasaan yang mutlak.

Pahat HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang