°13

159 12 0
                                    

Milly tetap diam, meski berkali-kali Rangga bertanya. Dia sibuk membenahi keperluan Rangga. Milly bolak-balik menaruh barang-barang itu di dalam mobil. Selama itu pula Rangga terus mengikutinya. Sampai akhirnya lelaki itu lelah. Dia duduk di dalam mobil bersama pak Onang sambil menunggu Milly selesai.

Di perjalanan, Milly masih tetap diam. Tak ada satu pun kata yang terucap sejak dia pergi meninggalkan keempat teman-temannya. Rangga sudah dapat menebak. Apalagi perkataan gadis berambut coklat itu menunjukkan bahwa mereka saling kenal satu sama lain di masa lalu.

"Mil, lo belum jawab pertanyaan gue," tegur Rangga. Dia menoleh pada Milly yang duduk di sampingnya.

Kali ini Milly terpaksa duduk di kursi belakang—tepat sebelah Rangga—karena lelaki itu menariknya dengan paksa. Milly yang enggan berdebat akhirnya pasrah. Dia duduk tanpa kata.

Pak Onang, sopir pribadi Rangga yang tak paham dengan atmosfer aneh itu hanya bisa diam. Meresapi suasana di dalam mobil dan mencoba membaca situasi. Dia mencoba menerjemahkan sendiri arti dari diamnya Milly. Beberapa kali pak Onang mengintip dari spion depan untuk menangkap wajah Milly yang menghadap jendela.

Sampai mobil tiba di apartemen, Milly masih tetap diam. Rangga pantang menyerah, dia tetap melontarkan pertanyaan yang sama. Milly keluar dari mobil dan mengambil beberapa barang yang akan dia bawa. Saat sedang sibuk seperti itupun Rangga tetap setia membantu agar Milly mau buka mulut dan menjawab pertanyaannya.

"Mil."

Usaha keras Rangga bukan tanpa alasan. Melihat perubahan drastis sikap Milly membuat Rangga sadar kalau suasana hati gadis itu telah rusak gara-gara pertemuannya dengan orang-orang yang tak beretika. Rasa ingin tahu manusia pasti bisa memuncak, apalagi bila merasa ada ikatan.

Milly keluar dari lift. Dia membuka pintu kamar Rangga dan meletakkan barang-barang itu dengan asal. Milly sungguh tidak bisa menahan diri lebih lama. Dia muak dengan suara Rangga yang tak henti memanggil namanya.

Rangga mengikuti Milly sampai gadis itu tiba di depan kamar. Sebelum Milly masuk ke dalam kamarnya, Rangga menarik lengan Milly. Menghentikan pergerakannya yang hendak membuka pintu.

"Lo nggak oke. Iya, kan?"

Milly berusaha melepaskan tangannya dari Rangga. Namun percuma, tekad Rangga yang kuat itu sungguh telah tersalurkan. Milly kalah telak karena Rangga lebih kuat.

"Mereka itu temen-temen lo, kan, Mil?"

Milly menarik napas dalam. Reaksi itu membuat Rangga sedikit bernapas lega. Rangga yakin kalau reaksi itu pertanda Milly akan menjawab pertanyaannya.

"Bisa nggak sih lo urus hidup lo sendiri aja? Nggak usah sok ngurusin hidup orang lain."

Rangga bengong, "Eh? Mil, tapi lo bukan orang lain buat gue."

"Tapi kita nggak cukup akrab buat berbagi cerita," Milly segera memutar knop pintu.

Rangga masih tetap menahannya, "Nggak, menurut gue, kita cukup akrab buat saling berbagi cerita."

"Itu menurut lo. Bukan menurut gue. Mendingan lo urus diri lo sendiri, pikirin gimana caranya lo bisa move on dari mantan terindah lo itu!"

Rangga mengernyit, "Kenapa jadi bawa-bawa Marissa? Sekarang gue ngomongin tentang lo, bukan tentang gue. Emangnya susah, ya, menghargai orang yang lagi khawatir sama lo?"

Milly diam. Kata-kata itu menusuk sampai ke hatinya, mengingatkan Milly pada seseorang yang pernah dia abaikan. Ingatan itu membuat Milly kebingungan dan tidak bisa menjawab. Sementara itu, karena lelah, genggaman tangan Rangga pada Milly mulai melemah. Hingga akhirnya Milly bisa masuk ke dalam kamar.

Pahat HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang