Undangan pernikahan, David dan Marissa.
Nama kedua mempelai tertera di depan dengan tulisan grafiti yang indah. Undangan berwarna merah maroon itu masih tertahan di dalam tas Yenny.
Milly ikut menyadari kejanggalan. Apalagi ketika menangkap basah Rafael yang terlalu intens menatapnya. Milly hendak berdiri untuk menghampiri, namun urung karena Rangga lebih dulu angkat kaki dari tempat duduknya. Yenny panik, begitu pula dengan Rafael, takut Rangga menyadari keresahan mereka.
Napas Yenny yang sempat tertahan kini terasa lega. Rangga berjalan keluar sambil berbicara dengan seseorang lewat ponsel.
"Ngumpetin apaan, sih?" Reza yang menyadari hal itupun berbisik. Takut terdengar oleh Rangga.
Rafael mengangkat undangan dari dalam tas Yenny. Memperlihatkannya pada Reza dan yang lain. Termasuk Milly.
Milly terpaku. Dia sadar saat ini beberapa mata sudah beralih tertuju padanya. Khawatir pada Rangga dan hubungan palsu yang mereka buat. Berbagai pertanyaan muncul di kepala mereka. Tentang bagaimana hubungan Rangga dan Milly setelah mendapatkan undangan itu. Apakah Rangga sungguh tidak apa-apa?
Karena mereka tahu, move on tidak semudah saat mengucapkan rangkaian kata.
"Kasih aja," kata Milly, menjawab pertanyaan Yenny.
"Serius gapapa?" Ilham tak yakin, yang lainnya pun begitu. Bahkan Hendra selaku manajer dan orang tertua di sana tak bisa memberikan solusi terbaik.
Tiba-tiba saja semua bungkam. Rangga masuk ke dalam ruangan dan kembali duduk di sebelah Milly. Undangan yang sempat diangkat keluar oleh Rafael masih berada di tangannya. Tanpa keraguan, Rafael menyerahkan undangan itu pada Rangga.
"Titipan penting," kata Rafael sebagai pengantar. Anggap saja itu cara Rafael agar orang-orang di dalam ruangan ini tidak terlalu tegang.
°°°
Untuk pertama kalinya Rangga menyetujui rasa sakit dari patah hatinya orang-orang yang menerima undangan pernikahan dari mantan terindah. Menjalin hubungan dengan waktu lama memang tidak menjamin, belum tentu seseorang yang kita anggap belahan jiwa akan menjadi pasangan seumur hidup.
Rangga menekan bantal yang menutupi wajahnya. Hal itu dia lakukan sebagai bentuk stres karena di luar sana Milly tak berhenti mengetuk pintu kamar dan memanggil namanya. Napsu makan, semangat hidup, bahkan keinginan Rangga untuk bernapas seketika hilang. Selembar undangan yang dia terima semalam seperti lingkaran hitam yang mampu menyerap semua hal penting dalam hidupnya. Membuat lelaki kelahiran Januari itu tak berdaya. Seolah lumpuh tak bernyawa.
Keesokan harinya, Rangga mendengar pintu kamarnya kembali diketuk di luar sana. Irama dari ketukan itu berbeda. Lebih keras dan terasa menggebu-gebu. Memaksa Rangga untuk segera membukanya.
Rangga mengambil ponselnya yang bergetar. Nama Milly tertera di layar. Rangga menggeser tanda hijau, "Apa?" katanya ketus sebelum Milly bersuara.
"Buka pintunya!" di luar sana, Milly kembali mengetuk pintu kamar Rangga.
[Nggak!]
Milly tersentak, tapi tak kenal lelah. Dia kembali mengetuk pintu di hadapannya dengan irama tak biasa. Berharap lelaki di dalam kamar itu terganggu karena ulahnya.
"Bisa nggak sih lo nggak usah banyak tingkah? Gue tau lo masih kesel gara-gara undangan itu, tapi kan–"
[Bisa nggak sih lo nggak usah bawel dan sok tau?]
Milly menendang pintu dengan keras, melampiaskan perasaan kesal yang berusaha dia tahan.
[Berisik!]
KAMU SEDANG MEMBACA
Pahat Hati
Fanfiction[TAMAT] Bercerita tentang Milly dalam kehidupan barunya bersama enam pahlawan kesiangan. Bisma, Dicky, Ilham, Rafael, Rangga, dan Reza. Enam orang itu tergabung dalam sebuah boyband yang paling disegani di dunia entertainment. Milly bertugas sebagai...