°22

127 9 4
                                    

Meskipun Rangga artis terkenal dengan ribuan followers Twitter, dia tetap tidak bisa bertindak sebebas presiden—bahkan seorang presiden pun masih memiliki batasan dan aturan. Jika saja ada posisi yang bisa membuatnya bertindak sesuka hati, Rangga ingin posisi tersebut. Posisi yang bisa membuatnya disegani dan semua orang akan menjawab jujur ketika dia melontarkan pertanyaan. Seperti raja yang berkuasa dan mendapatkan apapun yang mereka pinta.

Oh, atau adakah yang memiliki alat pendeteksi kebohongan? Jika ada, Rangga sungguh membutuhkan.

Berkutat dengan pikiran yang selalu bertanya-tanya tentang alasan Milly membuat Rangga menjadi gila sendiri. Dia bukan cenayang yang bisa membaca pikiran. Bahkan kepala Milly pun tidak transparan. Seandainya iya, Rangga pasti bisa melihat isi pikirannya. Tapi hal itu hanya ada dalam khayal saja.

Rangga akui, Milly tak sembarangan menyusun strategi. Setelah blak-blakan menolak ikut serta pada jadwal di hari Sabtu mendatang, Milly pun menjadi tidak banyak bicara. Dia bicara hanya seperlunya saja. Jika Rangga menyinggung tentang jadwal hari Sabtu atau hal-hal yang berhubungan dengan itu, Milly akan diam. Seolah-olah dia tak mendengar.

"Pura-pura budek!" begitulah umpatan Rangga setiap kali Milly berpura-pura tidak mendengar.

Dua hari berlalu. Rangga dan Milly masih sama seperti sebelumnya. Dinding pemisah di antara mereka masih jelas terlihat—dinding yang kokohnya lebih condong pada pertahanan Milly.

Sampai suatu ketika, di Jumat pagi yang tak terduga, Rangga mendengar Dicky berseru senang. "Milly beneran ikut?! Asik! Gitu, dong, Mil!"

Pagi itu Rangga merapatkan diri ke pintu kamar, memunculkan sedikit kepalanya, memasang telinga baik-baik untuk mendengar suara Dicky yang berasal dari sebelah kanan kamarnya.

"Pasti Rangga, kan, yang berhasil bujuk lo buat ikut?"

Bisma menyambar sebelum Milly sempat menjawab. "Eits, hasil bujukan gue, nih!"

Suara Dicky yang bersorak heboh itu lama-kelamaan hilang dari pendengaran. Rangga menutup rapat pintu kamarnya. Raut wajah kantuknya yang kusut itu seolah semakin tak berbentuk. Entah dia harus merasa senang atau sebaliknya. Ada perasaan tak suka menyelinap masuk.

°°°

Milly berdiri di depan pintu kamar Rangga setelah mengetuknya. Begitu pintu terbuka, dia mengutarakan maksud kedatangannya. "Gue mau packing barang-barang lo."

Rangga membiarkan Milly masuk. Beberapa saat dia merangkai kata yang tepat untuk menanyakan perihal keikutsertaan Milly, namun urung karena tiba-tiba ponsel gadis itu bergetar. Sekilas Rangga melihat nama Reyni terpampang di sana. Melihat reaksi Milly, Rangga segera menghalangi jalan gadis itu sebelum dia benar-benar pergi.

"Gue mau angkat telepon."

"Jawab dulu pertanyaan gue!"

"Rang, ini penting!"

"Pertanyaan gue juga penting. Malahan lebih penting."

Milly menatap layar ponselnya. Setelah itu menyentuh tanda merah. Suatu tindakan bahwa Milly menolak panggilan.

"Kenapa tiba-tiba aja lo berubah pikiran?"

Pupil mata Milly membesar. Perasaan menyesal karena menolak panggilan Reyni kini bersarang di kepalanya. "Itu yang lo bilang pertanyaan penting?"

"I-iya, ini penting."

Detik selanjutnya kembali terjadi perdebatan di antara mereka. Pada akhirnya, Rangga tidak mendapatkan jawaban apapun. Bahkan dia masih tidak tahu alasan Milly memilih untuk tidak ikut serta. Sekarang pertanyaannya bertambah. Dan yang paling mengganggunya adalah: mengapa harus Bisma yang berhasil membujuk gadis itu?

Pahat HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang