SEMBILAN

6.3K 485 36
                                    

Sakura masih belum Sadar hingga siang menjelang. Ibu sudah pulang sejak Sakura dipindah di ruang rawat bersama supir yang mengantar kami tadi.

Aku masih dengan pakaianku semalam yang hanya merupakan setelan piyama. Tapi aku tidak peduli, karena sekarang keselamatan Sakura adalah yang terpenting.

"Cepatlah sadar, aku mohon...." Sasuke menundukkan kepalanya sambil memegang tangan Sakura yang tidak tertempel selang infus. Aku masih tidak mengerti kenapa Sakura bisa tiba-tiba pingsan seperti itu.

Jemari rapuh itu perlahan bergerak, Sasuke mengangkat wajahnya ia menatap wajah Sakura dengan mata yang berbinar bahagia. Rona wajah lega dan ucapan kalimat syukur mengalir dari bibir Sasuke yang tersenyum.

"Sakura? Kau sudah bangun?" Sasuke memastikannya, melihat kedua netra itu yang kini terbuka menampakkan manik kehijauan yang meneduhkan itu. "Syukurlah...." sekali lagi, ia bersyukur. Bersyukur karena Sakura tidak apa-apa dan baik-baik saja.

Manik kehijauan itu mengedar menatap sekelilingnya, memastikan di mana ia berada sekarang. Namun ketika netra Sakura menitik pada oniks kelam itu kilatan matanya berubah ketakutan. Ia ingin bergerak menjauh, tapi ia tidak bisa. Sakura akhirnya hanya menangis tanpa suara, hanya deraian air mata yang meleleh bergantian dari sudut-sudut matanya.

Sasuke panik tentunya, ia tidak bisa memikirkan apa yang terjadi dengan wanitanya itu. "Sa--Sakura, kau kenapa? Apa ada yang sakit?" paniknya.

Sakura tidak mengatakan apapun, dan Sasuke kebingungan karena itu. Ia segera menekan tombol darurat yang berada di sisi ranjang rawat Sakura dan menunggu dokter datang.

Tiga menit berlalu, detik-detik untuk menunggu dokter datang terasa menyiksanya. Ia tidak menyukainya, seolah-olah jika ia melihat jarum jam yang bergerak maju membuatnya semakin tersiksa karena kepanikan dan kekhawatirannya sendiri.

Dokterpun datang, ia berlari tergopoh bersama dengan satu dokter lain dan dua orang perawat. Aku beringsut mundur dari sisi Sakura, membiarkan tim dokter memeriksanya.

"Biar aku yang memeriksanya, Anda sekalian bisa keluar.  Jika dilihat dari tingkah lakunya, sepertinya traumanya kambuh." Jelas seorang dokter wanita yang sudah berumur itu.

Mereka bergegas keluar, hingga menyisakan diriku di sana dan dokter itu pun menyuruhku keluar melalui tatapan matanya.

*
"Boleh aku tahu siapa namamu? Aku Tsunade." jelas dokter itu sambil mengulurkan tangannya.

Sakura masih menatap tangan yang terulur itu, kemudian tatapannya beralih pada mata karamel yang memancarkan kelembutan itu. Ia menatap kedua obyek itu bergantian, hingga akhirnya ia membalas uluran tangan dokter itu. "Aku Sakura."

Dokter Tsunade tersenyum, "Namamu indah, siapa yang memberimu nama itu? Sangat cocok denganmu," Sakura ikut tersenyum mendengar perkataan dokter Tsunade.

"Sungguh? Ibuku yang memberinya untukku."

"Uhmmm Sakura-chan? Boleh aku memanggilmu seperti itu? Melihatmu aku teringat dengan putriku." dokter Tsunade terkekeh yang mau tidak mau membuat Sakura ikut terkekeh karena aura kebahagiaan dokter itu seperti menyebar di sekitarnya.

"Tentu saja boleh, kau boleh memanggilku seperti itu, dok." jawab Sakura ditengah kekehannya.

"Ngomong-ngomong kau sakit apa? Suamimu terlihat khawatir sejak kau dibawa ke UGD tadi pagi." dokter Tsunade memulai sesi konselingnya. Cukup besar harapan yang ia taruh pada pertanyaan pembuka ini agar Sakura bisa terbuka.

Sakura berpikir sejenak, ia kemudian tersipu dan rona merah mulai muncul teratur seiring dengan senyumannya yang melengkung. "Entahlah aku hanya tidak bisa berjalan sejak bangun dari koma--Oh Maksud Anda, Sasuke-kun? Hahaha... Dia bukan suamiku, dok." Rona wajah itu semakin jelas dan memunculkan semburat merah di pipi tirusnya.

"Apa? Jadi aku salah? Kukira dia suamimu. Lalu siapa dia jika bukan kekasihmu?"

"Dia... Kekasihku," Sakura menjawab dengan rona merah yang masih tercetak jelas di kedua pipinya, bahkan kini menjalar sampai di kedua telinganya.

Dokter Tsunade tersenyum, lalu dia bertanya lagi. "Kecelakaan tadi kau bilang, Sakura-chan? Pasti itu menyakitkan untukmu."

"Tidak juga dok, karena Sasuke-kun selalu di sisiku. Itu yang membuatku bahagia memilikinya, meskipun terkadang aku merasa kesakitan jika di dekatnya--tapi aku tidak bisa membencinya atau meninggalkannya." dokter Tsunade tersenyum tipis, Psikolog itu merasa senang karena Sakura yang mulai terbuka padanya.

"Kenapa kau ingin membencinya jika kau merasa beruntung karena telah memilikinya?" tanyanya dengan tangan yang kini menumpu pada Sakura.

"Bagaimana aku menjelaskannya, ya." Sakura menghela napasnya sebelum melanjutkan kalimatnya. "Kami telah tinggal bersama lebih dari dua tahun. Dan karena suatu kejadian dia bermain dengan wanita lain di apartemen kami. Bahkan di kamar kami, dok." Matanya tampak berkaca-kaca dan berkilat marah, kemudian ia mendongak untuk menghalau air matanya.

"Masalahmu rumit sekali, Sakura-chan. Tapi kau adalah wanita yang kuat. Jika aku berada di posisimu mungkin aku sudah bunuh diri sejak dulu." Timpal dokter Tsunade.

"Mungkin saja jika saat itu aku tidak mengandung pasti aku juga akan melakukannya, dok." jelas Sakura yang membuat dokter Tsunade sedikit meringis dan menatap Sakura penuh simpati.

"Boleh aku bertanya padamu lagi sebelum aku pergi, Sakura-chan?" tanya dokter Tsunade sebelum mengakhiri sesi konselingnya hari ini.

Sakura mengangguk, "Bagaimana kau bisa masuk UGD lagi? Kudengar kau baru keluar dari rumah sakit kemarin." tanya dokter Tsunade untuk yang terakhir.

"Aku hanya takut, dokter. Saat itu kami berciuman, dan ingatan tentang Sasuke-kun yang menyentuh gadis lain membuatku sesak." Sakura sedikit meringis karena harus mengingat kembali apa yang berusaha ia kubur selama ini.

"Oh begitu... Kalau begitu, terimakasih sudah mau berbicara padaku. Besok aku akan datang padamu lagi, kau tidak keberatan 'kan?" Dokter Tsunade berdiri dari duduknya kemudian ia mengelus rambut Salura singkat sebelum pergi. "Sampai jumpa,"

Sakura mengangguk, pintu ruang rawatnya tertutup kemudian terbuka lagi menampakkan seseorang dengan raut khawatir di matanya. "Sakura-chan...," ia berlari memeluk Sakura, ah rasanya ia sudah lama tidak mendapatkan pelukan seperti ini selain dari Sasuke.

"Bibi?" ia terkejut mendapat pelukan tiba-tiba itu. Hampir saja ia terjungkal kebelakang.

"Apa kau baik-baik saja?" tanyanya dengan wajah khawatir yang kentara.

***

Ughh sesi konseling Sakura masih receh sepertinya, karena seharusnya--menurutku--pake dari perspektif ilmu psikologi/psikiatri. Karena aku yang males cari referensi dan kelimitan kuota xsinyal akhirnya*takdungcess~~* aku pake perspektif ilmu Konseling deh, jadi kalo ada yang ngga sreg bisa dikoreksi di komen untuk membuat karya yang lebib baik ke depannya. Tikyu~

Selamat hari minggu~ 💗💗

LIE [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang