2. Tahun Ajaran Baru: Pertemuan Awal

8.7K 806 300
                                    

Darmawangsa International High School.

Di luar ruang keputrian.

"Wynter Mahardika!"

Panggilan itu bikin aku kaget. Minuman bersoda tumpah dari kaleng yang kupegang ke dalam sebelah sepatu terdekat. "Belut ompong!" rutukku. Harusnya seisi kaleng bisa dibagi untuk lebih banyak sepatu perempuan yang berderet di depan pintu. Enggak adil kalau cuma satu cewek yang mendapati genangan rootbeer di sepatunya. Hebohnya bakal kurang seru.

Kutenggak sisa minuman, lalu kulemparkan kaleng kosong ke tempat sampah di seberang gang. Meleset. Berkelontangan saat kaleng jatuh dan menggelinding di lantai. Masa bodo. Para cewek di dalam ruangan juga enggak bakal dengar. Terlalu asyik membahas alat-alat reproduksi, cowok ganteng, gejolak hormon, cowok ganteng, kesehatan kulit, cowok ganteng, menstruasi dan PMS, cowok ganteng .... Kebanyakan cowok ganteng? Memang. Begitulah cewek kalau sudah berkumpul. Huh.

Kesal, aku berbalik menghadap si pengganggu. Cowok yang memanggilku bergeming. Wajahnya enggak kukenal. Tapi dari celana biru dan vest toskanya, dia anak SMP.

"Wynter Mahardika. Kelas 10C," katanya lagi, setenang cicak mengincar nyamuk. Kepedean amat!

"Yup. The one and only!" Enggak aneh dia kenal aku. Tapi bukan berarti aku harus kenal dia. Aku melenggang pergi. Misi berbagi rootbeer sudah selesai. Bel pulang sebentar lagi berbunyi, dan seluruh cewek kelas 10 paralel akan berhamburan keluar. Sayang sekali cuma satu kaki yang bakal mencicipi hadiahku.

"Aku Wynn Maharesi. Kelas 9D. Tunggu." Cowok itu menjajari langkahku. Satu tahun lebih muda dari aku, lumayan jangkung, terlalu kurus. "Ada yang perlu aku bicarakan sama kamu, penting banget. Tapi tolong, buang sampahmu dulu ke tempatnya."

Aku mendengkus dan terus berjalan. Tiba-tiba lenganku ditahannya. Tanpa kata, ia menunjuk kaleng minuman di lantai. Berani betul anak ini sama kakak kelas!

"Gimana kalau aku masuk ke kelas keputrian dan kasih tahu mereka siapa yang jail menumpahkan rootbeer ke dalam sepatu?" Wynn menatapku serius. "Jangan bilang kamu enggak sengaja. Aku tahu apa yang kamu lakukan tadi."

Aku menarik lenganku lepas dari pegangannya. "Ngadu saja sana! Aku mau lihat," tantangku sambil menatap matanya sesaat. Cokelat madu, penuh tekad. Aku mengerjap. Kubalikkan badan. Enggak berminat berurusan dengannya.

"Wynter! Kalau kamu enggak ambil kaleng itu, aku enggak mau bicara sama kamu."

Eh? Aku enggak salah dengar, kan? Antara geli dan pengin mencekik, tawaku meledak lebih dulu. Anehnya, wajah di depanku tetap datar, seolah ancaman itu paling wajar sedunia. Belalang garing!

Anak itu mengejar untuk mengadangku. "Aku mau tawarkan sesuatu yang rugi banget kalau kamu tolak. Jadi, tolong masukkan sampah kaleng itu ke tempatnya. Please."

Aku terus melangkah. Koridor di depan deretan kelas lebarnya tiga meteran, tapi aku sengaja menabrak bahunya. Tubuh kurusnya terhuyung minggir. Pesanku jelas: Aku enggak tertarik, dan enggak mau berurusan dengannya.

"Wynter—"

Tepat saat itu bel berbunyi. Pintu-pintu nyaris serempak terbuka, dan penghuninya tumpah ruah ke selasar. Sekeliling kami berseliweran siswa-siswi aneka bangsa berseragam abu-abu dan vest marun. Berisik bukan main. Percakapan dan seruan berbahasa Inggris bercampur aduk dengan bahasa Indonesia.

Cowok SMP itu segera sadar seragamnya berbeda secara mencolok. Dengan kepala tertunduk, ia pergi meninggalkanku. Tapi melawan arus. Kembali ke depan ruang keputrian untuk memungut kaleng dan memasukkannya ke tempat sampah. Aku tercengang, mengikutinya dengan mataku saat ia melewatiku lagi.

Write Me His Story (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang