30. Record the Happiness (b)

3.5K 745 114
                                    


"Hei, Hya, tunggu!" Aku berlari menyusulnya. Berjalan melintasi lobi yang sunyi. Keluar ke taman. Disambut tiupan angin kencang ke arah laut. Rambut Hya langsung berantakan. Cardigannya melambai. Dengan susah payah ia rapatkan. Tas kain berisi buku dan alat tulis pun melorot dari bahunya.

Kejadian kecil yang bakal ditanggapi dengan cebikan kalau aku adalah Wynter sebulan lalu. Cewek sering tidak realistis, mengutamakan gaya dalam berbusana, pengin tampil cantik, padahal situasi dan kondisi tidak memungkinkan. Hya mungkin tidak separah cewek-cewek lain. Tapi tetap saja, harusnya ia pakai jaket alih-alih cardigan tipis tanpa kancing. Toh apa pun yang dikenakannya, oke di mataku. Ah, Wynter, apa yang kamu pikirkan? Tanggung sendiri akibatnya sekarang.

Ya, isi dada terjungkir. Aku ingin melepaskan jaketku dan memakaikannya pada Hya. Aku ingin melindunginya dari angin, meraihnya .... Stop! Jangan macam-macam, Wynter. Sudah waktunya menjalani peranmu. Oke, apa yang dilakukan Wynn dalam situasi ini?

Hya sudah memeluk tasnya dengan satu tangan di dada, sekalian mengamankan cardigannya dari angin. Satu tangan lagi kemudian sibuk menjinakkan rambut yang menampar-nampar muka, tapi tanpa hasil. Kenapa tidak ia ikat saja? Padahal kalau diikat, tampak lebih manis. Oh Wynter, kamu mulai lagi!

"Wynter? Mau berdiri saja di situ?" Hya menegur. Lalu gadis itu melanjutkan langkah meniti batu-batu pipih yang sejajar garis pantai. Lidah laut hanya 50 meteran di sebelah kanan.

"Hya!" Aku mengadangnya dalam beberapa langkah panjang. Kulepaskan jaket dan kusodorkan kepadanya. Kukira begitu yang akan dilakukan Wynn. "Pakailah."

Hya hanya memandangi jaket di tanganku. "Bentar lagi masuk kamar. Enggak usah."

"Jangan bandel. Nanti masuk angin. Enggak sebentar juga kalau mau bicara dulu ...."

"Oh." Hya tampak terkejut.

Ya, aku juga terkejut sendiri dengan inisiatifku. Tapi kapan lagi memulai peranku kalau tidak sekarang? Aku mengangguk puas. Menyodorkan kembali jaketku. Meminta tas Hya untuk kupegangi.

Di bawah cahaya lampu taman, di antara bunyi deburan ombak dan suara tawa para tamu di bar tepi pantai, Hya menerima dan memakai sendiri jaketku. Kebesaran, tentu saja. Aku tersenyum geli. Wajah Hya bersemu ... atau mungkin pantulan cahaya lampu saja.

"Hoodie-nya dipakai saja, untuk melawan angin," saranku, yang dituruti Hya. Tapi ia kesulitan membuka tudung yang masih terkancing di kerah belakang. Aku menjangkau ke balik lehernya untuk membantu mengeluarkan tudung. Dan isengku kumat. Kulesakkan hoodie itu membungkus kepala Hya, sampai seluruh mukanya tertutup.

"Wynter!" Hya memprotes sambil menyingkirkan tanganku dari kepalanya.

Gelakku pecah. Semakin keras saat Hya berusaha memukulku dan meleset. Aku sudah keburu kabur. Bukan Hya kalau langsung menyerah. Ia mengejar. Aku terus mengelak, berlari, menyimpang dari jalan setapak ke hamparan pasir. Keputusan yang keliru. Pasir masuk ke dalam sneaker-ku, dan di satu titik kakiku amblas. Kesempatan bagi Hya untuk menarik punggung bajuku kuat-kuat dan menyarangkan pukulan dan cubitan sekenanya. Aku mengaduh-aduh, tertawa, menggoda, mengaduh lagi. Akhirnya terduduk di pasir.

Hya masih memegangi bajuku, tapi berhenti menyerang, terengah-engah. "Kayaknya kalau enggak jail serasa enggak hidup, ya?"

"Tadi itu bukan jail, kok," protesku, "Cuma iseng dikit."

Hya membelalak. Lalu cemberut. Aku menelengkan kepala memandangnya. Senyumku lebar. Gerak fisik dan perasaan gembira telah mengembangkan sebagian dadaku sampai mau meledak rasanya. Tapi di saat yang sama, ada bagian yang menciut oleh rasa bersalah. Dua perasaan yang bertentangan ini tidak saling menetralkan. Malah lebih menegaskan ketidakmampuanku. Susah ternyata untuk konsisten menjadi seperti Wynn buat Hya. Tapi aku harus mencoba terus. Wynn memercayaiku. Pasti bisa. Aku berdeham. "Jadi, apa yang mau kamu bicarakan denganku?"

Write Me His Story (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang