13. Sahabat Terutama

2K 388 63
                                    

Catatan:

Judul Part 13 ini awalnya Perempuan Kedua, lalu diganti Sahabat Pertama, lalu diganti lagi jadi Sahabat Terutama, mengikuti kemauan Wynter.

Selamat membaca.

--------------------

Ponselku berbunyi ketika aku keluar dari kolong jembatan. Dari Mama Olive, perempuan kedua. Tumben. Ada apa menelepon jam segini? Dia kan tahu aku sedang sekolah. Aturannya, pada jam belajar, ponsel masuk loker. Jadi, wajar kalau aku enggak jawab panggilan. Kuselipkan lagi ponsel ke saku. Tapi panggilannya mendesak. Ah, apakah terjadi sesuatu pada Dad? Atau Nana?

"Halo."

"Wynter, kamu bolos lagi!"

Aaah, mestinya enggak usah diterima. Seakrang putuskan enggak, ya? Tapi terdengar London disebut-sebut. Kuembuskan napas keras-keras, kudekatkan ponsel ke telinga. Mama Olive jenis wanita yang suka mengulang kalimat yang sama dua atau tiga kali, jadi aku tidak khawatir kelewat informasi. Kata-kata tidak diucapkannya dengan mengomel apalagi marah-marah. Tapi tenang, sulit dibantah, dan bakal terpatri lama di otakmu. Membuat kamu berharap punya daun telinga lebar seperti Bona Gajah untuk menutup lubang pendengaran.

".... Kalau persentase kehadiranmu kurang dari 90%, akan sulit untuk lolos bahkan di seleksi awal. Kamu perlu beasiswa itu, Wynter, kalau mau kembali ke London."

Aku masih diam. Beasiswa yang dimaksudnya adalah beasiswa yang sama dengan yang pernah Dad terima. Dananya dari perusahaan keluarga Mama Olive. Sekarang Dad jadi CEO-nya. Tapi kata mereka, aku tetap harus ikut tes, bersaing dangan banyak kandidat lain. Jangan berharap ada perlakuan istimewa untuk anak CEO. Ehem ... berharap perlakuan istimewa? Yang benar saja! Apa aku ada tampang Ferrari, baju branded, dan kartu kredit tanpa batas?

"Wynter, dengar ...." Mama Olive mengulang penjelasan tentang syarat rapor bagus. Lalu beranjak ke topik baru. "Mama barusan bicara sama Nana di telepon. Katanya, akan menginap lebih lama di Bogor. Kamu tidak apa-apa sendirian di rumah?"

Sudah kuduga. Nana paling betah dikelilingi cucu-cucu kecil. Dan mumpung Mama Olive bertanya, ini kesempatanku menjelaskan masalah uang saku. Sampai hari ini masih utuh berkat Wynn. Tapi enggak bakal bertahan lama. Gimana caranya meminta tanpa kesan meminta?

"Besok kan akhir pekan, kamu pulang saja ke sini. Dad lagi enggak bisa ke Bandung soalnya." Mama Olive lanjut bicara. Peluangku pun hilang karena kelamaan mikir. "Pesanlah travel untuk sore ini, nanti Mama jemput di pool."

"Sorry, Ma'am. Enggak bisa ke Jakarta dulu. Banyak yang harus kulakukan," tandasku.

Biasanya, Mama Olive memprotes panggilan resmi seperti itu. Ma'am alih-alih Mama. Termasuk Sir alih-alih Dad. Sekarang ia mengabaikannya. Baguslah. Susah buatku memanggil Mama dan Dad kepada orang yang hanya memberi instruksi dan teguran saat berkomunikasi. Atau tepatnya, hanya berkomunikasi kalau ada instruksi dan teguran yang perlu disampaikan.

"Oh." Mama Olive terdiam beberapa jenak. Aku juga diam. Tidak ada yang perlu kusampaikan. Urusan uang saku, gimana nanti saja. "Padahal Asha dan Shea sudah kangen sama kamu, Wynter."

"Really?" sahutku datar. Dua cewek kembar berusia 9 tahun pasti sudah saling melengkapi sendiri untuk main boneka dan rumah-rumahan. Tidak ada alasan kangen pada kakak tiri cowok usia 16 tahun. Kalau memang benar, mereka bisa meneleponku, kan? Dan yang jelas, tidak lari menghindariku waktu aku berkunjung dulu. Aku jadi berpikir, andaikan adik laki-laki mereka tidak meninggal dunia dalam kandungan, mungkin dia bisa jadi jembatan dan kami bisa dekat. Mungkin.

Terdengar Mama Olive menghela napas. Lalu berpamitan dan memutuskan hubungan. Aku memandang ponselku seolah benda ini mewakili sosok Mama Olive. Perempuan kedua yang mengaku sebagai perempuan pertama Dad. I don't believe her now.

I didn't believe her then. Ketika ia menjelaskan tanpa diminta, karena menurutnya tatapan mata biruku menusuk dan menghakimi. Jadi, ia harus mengungkapkan fakta. Mereka sudah resmi bertunangan sebelum Dad kuliah di London. Marlyn Clarke merebut Dad, lalu aku pun terlahir. Mama Olive sudah mengikhlaskan Dad, tapi takdir berbicara lain. Dad kembali. Mama Olive memaafkan dan menerimanya lagi. Itu yang terbaik buat semua pihak, katanya.

Aku baru naik kelas 8 waktu itu. Kalkun kurus! Kenapa aku harus peduli dengan kisah cinta segitiga mereka yang berakhir baik buat semua pihak? What about me? Di mana posisiku dalam kalimat: Itu yang terbaik buat semua pihak?

Kumatikan ponselku dengan sebal. Aku punya urusan sendiri yang lebih penting.

Oh, by the way, ganti judul bab ini! Jangan Perempuan Kedua. I hate it. Ganti dengan Sahabat Pertama. No, cross that. Sahabat Terutama. Ya, itu paling tepat. Good.

Aku berjalan ke gedung SMP dengan langkah lebar. Sepanjang pagar, banyak daun pisang dari kebun sebelah condong ke sini. Menyingkirkan salah satunya yang menghalangi jalan, aku melihat robekan daun yang bergulung. Aku tahu apa yang tersembunyi di dalam gulungan cantik itu. Mendadak aku dapat ide cemerlang untuk Wynn. Daripada membolos tidak keruan, lebih baik membolos keruan, bukan? Aku tahu tempat bolos yang asyik, dan isi gulungan daun pisang ini bakal menambah seru.

Dengan hati-hati, aku memanen gulungan-gulungan yang cukup besar tanda berisi. Kumasukkan ke dalam saku samping ransel. Dulu sekali, Nana suka membuat lontong. Aku membantunya. Nana mengajariku membuat peluit dari daun pisang. Caranya dengan melinting daun pisang selebar lima sentimeter, menjadi semacam terompet kecil. Lalu ujungnya ditekan, dari situ kamu tiup. Aku dipuji Nana karena peluitku berbunyi lebih kencang. Satu kejutan tak terlupakan, saat aku justru membuka daun yang sudah tergulung oleh alam!

Bel SMP berdentang menandakan pelajaran ketiga selesai. Perfect timing. Aku berlari masuk dari pintu darurat, naik tangga ke lantai dua. Wynn di kelas 9D. Bekas kelasku. Kulewati selasar dengan deretan loker. Belum terlalu ramai dengan anak-anak yang keluar untuk beristirahat. Aku sampai di kelas Wynn. Jendela kaca paling belakang familier, karena tahun lalu aku duduk di situ.

Ya ampun! Seribu kepiting yang jalannya miring! Wynn duduk di kursi bekasku, tanpa teman sebangku. Anak itu bahkan sedang menatap menembus jendela kelas, menembus selasar, menembus jendela gedung, jauh ke awan di langit. Tidak memperhatikan guru di depan kelas yang masih berkutat dengan penjelasan terakhir. Persis aku. Kebetulan atau sengaja? Aku tidak akan percaya kalau tidak melihatnya sendiri.



-----------------------------

Dear pembaca

sebagian bab ini dihapus. Untuk lengkapnya, baca versi cetaknya ya. Sudah terbit, dapatkan di toko buku.

Next part masih full.

Next part masih full

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Write Me His Story (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang