19. Double Dates and a Bodyguard

1.7K 329 43
                                    

Manusia berencana, Tuhan menentukan.

Nana selalu bilang begitu untuk setiap rencana yang meleset dan segala sesuatu yang terjadi di luar dugaan. Dulu aku pernah berkomentar, kok Tuhan suka banget ya mengacak-acak rencana manusia. Nana menjewer telingaku dan menyuruhku istigfar. Aku menurut, minta ampun pada Tuhan tanpa mengerti salahku. Nana tidak menjelaskan.

Belakangan, aku mengambil kesimpulan sendiri. Rencana Tuhan sudah ada duluan, manusia saja yang sok tahu, sok pintar, bikin rencana macam-macam dan percaya semuanya bakal berjalan sesuai keinginannya. Padahal rencana manusia bisa lancar hanya kalau selaras dengan rencana Tuhan.

Jadi, ketika rencana menonton film Sabtu sore mendadak dibatalkan Wynn, aku enggak terlalu kecewa. Tapi rencana Tuhan yang berlaku kemudian membuatku takut.

Minggu menjelang subuh, aku dibangunkan Nana. Aku bukan batang pohon tumbang lagi sejak sering menginap di paviliun Wynn. Aku terbangun tiap kali Wynn bergerak. Seolah telingaku terhubung dengan sistem jaga anak itu. Kalau aku tidur di kamarku sendiri seperti kali ini, Nana tinggal berbisik, "Wynter, Bunda Sarah menelepon."

Aku terlompat bangun. Sadar tidak di rumah Wynn. Sadar ini terlalu pagi untuk telepon biasa. Dengan jantung bertalu-talu, aku lari ke bawah. Kenapa Bunda Sarah tidak kontak ponselku? Mungkin beliau tidak sadar telah menghubungi nomor rumah. Daruratkah? Mendadak aku lumpuh di depan meja. Beberapa saat kupandagi saja gagang telepon yang tergeletak. Nana memberi isyarat agar aku menjawab segera.

Suara Bunda Sarah tenang terkendali. "Wynter, Tagor sedang ke situ untuk jemput kamu. Wynn minta ditemani, cuma sama kamu."

Aku mengembuskan napas yang tertahan. Wynn baik-baik saja. Aku yang tidak baik-baik saja. Lututku lemas. Aku terduduk di lantai.

Nana mendekat, berjongkok untuk menggosok punggungku. "Nana bilang juga apa, Sabtu Minggu kamu menginap saja di sana. Wynn lebih membutuhkan kamu."

Pandanganku kabur oleh genangan air mata. Tidak ada suara yang keluar dari mulutku. Nana menarik kepalaku ke dalam pelukannya.

"Kamu harus kuat untuk Wynn."

Aku mengangguk tapi kemudian menggeleng. Aku enggak bakal bisa menerima telepon di jam-jam aneh lagi. "Aku ingin kuat, tapi enggak yakin. Mungkin Nana benar, lebih mudah menjauh saja sebelum kehilangan."

Nana menjewer telingaku keras-keras sampai aku menjerit. "Itu omongan ngawur lansia. Nana menyesal pernah bilang begitu. Sejak bicara banyak sama Miss Jansen, Nana sadar kamu direncanakan Tuhan untuk ada di sini. Buat Nana, buat Wynn. Dan kamu sudah banyak berkorban untuk sampai di sini. Tuhan tidak akan sia-siakan itu. Jadi, ikuti rencana-Nya. Pergilah. Nana enggak apa-apa kamu tinggal."

Aku mencium pipi Nana dan membantunya berdiri. "Apa sebetulnya yang dibicarakan Miss Jansen dengan Nana?"

Nana tersenyum. "Oh, cuma potensi kamu. Miss Jansen sudah lama mengamati kamu."

"Karena aku mirip mendiang anaknya?"

"Lebih dari itu. Dia dekat dengan keluarga Wynn. Mereka percaya kamu karena rekomendasinya."

Aku tertegun. Pantas saja.

Dan semakin jelas apa yang mereka harapkan dariku saat aku dibawa ke rumah utama, bukan ke paviliun. Di ruang duduk, keluarga Wynn berkumpul. Tenang yang dipaksakan. Senyum yang mencekam. Aku menelan ludah. Rasanya ingin langsung lari ke paviliun untuk memastikan keadaan Wynn.

"Wynter ...." Bang Enver mempersilakan aku duduk. Sepertinya, ia yang jadi juru bicara. "Jangan khawatir. Semalam Wynn memang meledak-ledak. Setelah bisa tidur sebentar, dia baik-baik saja dan minta kamu datang. Sebelum ketemu Wynn, kamu perlu tahu beberapa hal biar enggak salah paham. Wynn sudah cukup lama enggak kejang-kejang atau pingsan. Kejadian semalam membuat kami sadar, Wynn mengalami relapse atau kemunduran. Emosi yang enggak stabil adalah pertanda sel kankernya bertumbuh dan menekan sel-sel normal. Kami mengajaknya ke rumah sakit untuk serangkaian tes lagi. Kemungkinan besar berbuntut operasi dan radiasi lagi, bahkan kemoterapi. Wynn menolak dan semakin marah. Apalagi saat dia tahu aku enggak bakal kembali ke Kalimantan dan Ryan ambil cuti kuliah."

Write Me His Story (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang