24. Tunggu! Sabar!

4.2K 872 164
                                    

Dua minggu kemudian ....

"Wynter, stop!" Nana berseru mengatasi kehebohan drama Korea yang sedang ditontonnya. "Lihat badan gede kamu wara-wiri begitu bikin mata Nana perih."

Ya, kulihat mata Nana basah. Tapi itu kan gara-gara adegan seorang wanita meratapi jasad suaminya. Memangnya kalau ditonton Nana tiga kali, si suami bakal hidup lagi? Ck!

Nana menunjuk sofa di sampingnya. "Duduk sini! Temani Nana. Sesekali ada teman baper kan seru."

"What?" Aku tergelak. Nana tahu kata baper dari mana? Nana itu tipe nenek tradisional. Lihat saja rambut kelabunya yang disanggul di puncak kepala. Mata sipit oleh kerutan usia yang berpendar penuh kasih. Nana enggak mau kenal medsos. Enggak mau menonton acara gaul televisi. Mungkin kalau tidak ditulari candu drakor oleh ibu-ibu tetangga, Nana enggak akan pernah buka laptop untuk streaming. Ah ya, pasti tahu baper dari ibu-ibu itu.

"Tapi Na, kapan Mama Olive kasih kabar?" tanyaku, berhenti tepat di depannya. Menghalangi layar televisi yang memproyeksikan drama dari laptop.

Nana menekan tombol pause dengan jengkel. "Kamu sudah tanya itu tiga menit lalu. Jawaban Nana akan sama sampai sore nanti. Tunggu sampai Olive ketemu pengacara yang menangani peralihan hak asuh kamu."

"Kapan ketemunya?"

"Apa? Pastilah Olive punya. Masa enggak? Kamu itu suudzon saja. Jangan begitu."

Eh, kok enggak nyambung? Aku membungkuk untuk memeriksa telinga Nana. Ah, benar. Hearing aid-nya bergeser nyaris lepas. Nana banyak menggerakkan kepala gara-gara aku menghalangi pandangannya ke layar televisi. Alat bantu dengar itu baru dibelikan Dad dua minggu lalu. Lebih praktis dan canggih ketimbang alat sebelumnya yang rusak, tapi Nana seperti kurang nyaman memakainya. Satu hal lagi yang membuatku sebal, Dad tidak merasa perlu melibatkan Nana waktu membelikan. Keputusan dibuat berdasarkan pertimbangan sendiri dan itu final. Aku mengulurkan tangan untuk memperbaiki posisi alat itu di kedua telinga Nana.

"Kapan Mama Olive ketemu sama pengacara?" ulangku kemudian.

"Sore ini."

"Kelamaan. Kenapa Mama Olive enggak telepon saja sekarang?"

"Enggak bisa lewat telepon, karena pengacara enggak boleh kasih data klien sembarangan. Harus ada pendekatan pribadi. Sabarlah."

Tunggu. Sabar. Dua kata yang menyiksaku dalam dua minggu ini. Bayangkan, aku harus menagih-nagih janji Mama Olive mencarikan data Mum. Awalnya, Mama Olive bilang mau bicara baik-baik dengan Dad. Setelah berhari-hari, ternyata tidak dilakukan juga. Mama Olive selalu kehilangan keberanian. Lantas, atas bujukan Nana, dan karena merasa bersalah soal beasiswa yang ditiadakan, Mama Olive bersedia menyelinap ke ruang kerja Dad. Tapi setiap hari pula, Mama Olive bilang belum ada kesempatan bagus. Terakhir, Mama Olive punya ide untuk mendekati pengacara Dad. Tapi aku masih harus menunggu.

Sungguh, kalau tiap menit menunggu bisa ditukar duit, aku bisa kaya. Tapi siapa pula yang mau bayar aku untuk duduk manis menunggu? Bagaimana bisa duduk manis kalau—

"WYNTER!" Nana berteriak. "Kamu punya bokong kerucut ya? Sama sekali enggak bisa duduk diam? Pergi main sana! Godain Hya, hibur Wynn, atau buat dirimu berguna bagi Nusa dan Bangsa, Nana lebih bangga lagi."

Aku meringis. Nana juga frustrasi, aku tahu. Sejak Dad menamparku dua minggu lalu, Nana semakin menunjukkan keberpihakan padaku. Membela kepentinganku. Nana sendiri cuma tahu sedikit bahwa Mum pernah menderita depresi. Itulah alasan Mum mengirimku ke Indonesia. Fakta baru yang membuatku merasa sangat sangat sangat bersalah. Itu sebabnya aku ngotot ingin menghubungi Mum. Segera, bagaimanapun caranya.

Write Me His Story (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang