16. Hyacintha Sheridani

1.9K 362 28
                                    

Aku terduduk lemas di lantai toilet. Keluar semua isi lambungku, meninggalkan rasa tidak enak di mulut.

"Wynter?" Hya mengetuk pintu yang tidak sempat kututup rapat.

Aku menoleh dan ia menyodorkan segelas air hangat. Ini yang kedua kalinya Hya memberiku minum setelah sesi emosional dan sekarang sesi psikis. Ya, aku tahu istilah ini karena Dad pernah bilang, pikiran ruwet bisa berdampak pada masalah fisik. Nana dan Mama Olive juga pernah mengalaminya. Tapi mereka kan perempuan, seperti Mum. Bagaimana mungkin aku lebay seperti mereka? Kuteguk habis isi gelas. Lega sekaligus malu.

Hya mengangguk dan meninggalkan aku, tanpa menuntut ucapan terima kasih. Good. Aku bangkit untuk mencuci muka. Keluar dari kamar mandi sedikit lebih segar.

Kutemukan Hya di ruang tamu, sedang memilah-milah kertas dari map ke meja menjadi dua tumpuk. Aku duduk di depannya. Pandanganku bertanya.

"Ini ringkasan tentang astrositoma. Hasil tanya-tanya ke semua dokter yang kukenal. Termasuk Bang Enver dan Om Maharesi, Papa Auden. Juga info dari Internet. Mungkin kamu sudah dapat info dari sumber berbeda. Tapi kalau belum, catatanku ini bisa kasih gambaran. Aku enggak menulis di WMHS. Enggak mudah bicara soal ini dengan Wynn."

Aku menerima setumpuk kertas itu dan memandangnya. Cewek 15 tahun? Bukannya cekikikan konyol dan membicarakan hal-hal gaje? Oke, satu poin lagi dariku. Kupindai cepat informasi penting yang dicetak tebal. Definisi, gejala, pengobatan, perawatan, dan dukungan non-medis. Ya, sangat memudahkan. "Thanks," kataku tulus. Tapi tiba-tiba mataku menangkap tulisan end-of-life care. Aku menegur Hya. "Kamu tega nulis ini, kayak fiksi saja!"

Kening Hya berkerut. "Tega? Kesimpulan dari mana? Yang kamu rasakan sekarang, masih kurasakan juga. Bedanya, kamu baru beberapa kali 24 jam. Aku sudah dua tahun. Sampai sekarang pun sulit aku terima."

Aku terdiam. Samar-samar gejolak itu muncul lagi di perut. Ya ampun, ini bukan pemberontakan arwah bawal, kan?

"Kamu sakit?"

Aku kembali jengkel, lebih ke diri sendiri ketimbang Hya dengan pertanyaannya. Aku telah berkerenyit untuk ketidaknyamanan sepele, lupa bahwa definisi sakit sudah bergeser mengikuti makhluk di kamarku. Dibandingkan Wynn, aku segar bugar sehat tak kurang apa-apa.

"Jangan memandangku seperti itu. Mata kamu itu menghakimi, tahu!" Hya salah paham. Ia mengibaskan tangan kesal. "Kalau memang kamu sakit atau enggak nyaman, kita tunda saja pembicaraan ini. Tapi kamu harus tahu, enggak boleh sembarangan ajak Wynn keluar dari zona terkendali. Rumah, sekolah, dan panti sudah dilengkapi tenaga medis dengan peralatan memadai. Di luar itu, Wynn perlu pendampingan tenaga terlatih. Bang Tagor, salah satunya. Dia bukan cuma sopir. Wynn malah menyuruhnya pulang, karena terlalu mengandalkan kamu."

"Dan itu kesalahanku?"

Hya tidak membantah. Benar, ia menyalahkan aku. Pantas, ia enggak bisa menerimaku. Menganggap aku pengaruh buruk buat Wynn. Di satu sisi, aku merasa bangga, menjadi teman yang sangat berarti buat Wynn. Di sisi lain, aku juga enggak terima dianggap pengaruh buruk. Wynn punya pemikiran sendiri. Kalau ia pengin bebas, siapa yang bisa menghalanginya?

"Sudah lama Wynn punya keinginan aneh-aneh. Cari-cari kesempatan. Jadi berani sejak dekat sama kamu. Aku curiga, Bang Tagor enggak jemput ke sanggar itu ulah Wynn juga. Kita harus hati-hati. Di luar zona aman, sulit melakukan penyelamatan kalau Wynn kenapa-kenapa."

"Contohnya?"

"Mimisan, yang kemarin itu belum seberapa, pernah lebih banyak lagi. Sakit kepala hebat, kejang-kejang, pingsan. Enggak kuat lihatnya ...." Suara Hya pelan. Mata basah.

Wynn jatuh pingsan menimpa Hya. Aku ingat catatan tentang itu dan bagaimana Wynn menanggapinya dengan canda. Hya telah menyaksikan semua contoh yang disebutkannya. Aku menelan ludah. "Apa yang biasanya dilakukan kalau terjadi seperti itu?"

Write Me His Story (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang