8. Kiss the Rain

3.2K 496 91
                                    

Dear all
Pertanyaan kalian aku kumpulin dulu. Nanti aku mentioned kalian di jawabanku.

Love,
Wynter

______


Alih-alih ke pintu rumah utama, Pak Satpam membawaku melalui jalan samping. Dari jauh, sudah terlihat sebuah paviliun dengan lantai dan pagar beranda dari kayu. Begitu asri, menyatu dengan pepohonan sekelilingnya, menyerupai kabin di hutan yang cocok untuk menyepi.

Tapi di sini tidak sepi-sepi amat. Telingaku masih bisa menangkap deru lalu lintas di luar benteng dan suara orang bercakap-cakap di rumah utama. Juga bunyi tonggeret yang menjadi latar, sekaligus mendominasi suasana. Lalu denting piano tiba-tiba menyeruak lembut. Semakin dekat, dari jendela kaca paviliun yang lebar, aku melihat Wynn duduk menghadapi grand piano. Jemarinya menari di atas tuts. Kepalanya bergerak mengikuti melodi.

Aku tertegun di ambang pintu yang terbuka, tidak mengacuhkan Pak Satpam yang berbalik pergi. Lagu apa ini? Kenapa dadaku jadi bergejolak dengan aneka perasaan berlawanan. Sedih, tenang, kehilangan, penemuan, kesendirian, harapan, damai, semangat, dan kepasrahan.

Tanpa sadar, aku sudah melangkah masuk, duduk begitu saja di lantai kayu. Wynn menoleh menyadari kehadiranku. Senyum miringnya tersungging. Lalu kembali berkonsentrasi pada musiknya. Gaungnya di ruangan menghipnotis telingaku, menyentuh hati, dan memberi kesejukan pada akhirnya. Aku ingat, Wynn suka main piano di panti wreda. Kalau lagu seperti ini yang dimainkannya, ia memberi makna lebih pada istilah die in happiness atau rest in peace.

Kunci terakhir bergema di relung hati. Lalu sunyi. Wynn memutar posisi duduknya. "Kiss the Rain, oleh Yiruma, pianis Korea. Suka?"

"Ya. Love it." Aku bangkit, mendekat. "Kamu baik-baik saja?"

"Seperti yang kamu lihat." Wynn berdiri, mengembangkan tangan. Tampak nyaman dengan t-shirt dan celana 7/8 serba hijau. Bagiku, tampak menantang untuk kutonjok bahunya.

"Bagus kalau kamu sehat. Because you deserve this." Aku mendorongnya sampai ia terduduk lagi di bangku piano. Kepalan tanganku memalu kepalanya. "Kamu sudah bikin aku penasaran, terus nendang aku seenaknya. Menghilang pula tanpa kabar. Kamu tahu rasanya?"

Wynn mengaduh sambil tertawa-tawa. Tangannya terangkat untuk melindungi kepala. Aku hanya berkacak pinggang. Wynn buru-buru merangkap tangan. "Ampun, Senpai!"

Aku mendengkus. Saat ia lengah, mengira marahku sudah reda, aku menjentik jidatnya. Wynn berteriak kaget sambil mengusap-usap dahi, mengomel. Aku abaikan, duduk di bangku di sampingnya menghadap piano. Dengan telunjuk, aku memainkan beberapa nada acak. "I wish I could play music like you."

Wynn langsung menyambut. "Kenapa enggak? Sini, aku ajari. Dengan ketajaman memori lewat pendengaran, kamu pasti bisa cepat menguasai." Ia berbalik untuk menghadap piano. "Kamu sudah kenal kunci-kunci nada dari pelajaran musik, kan?"

Aku mengangguk.

"Yuk, bereksperimen. Aku mainkan beberapa nada, kamu dengarkan, lalu coba tiru."

Ini tantangan. Aku menggosok-gosok tangan bersemangat. Di pelajaran musik, paling tidak, aku bisa baca not balok dan meniup recorder.

Wynn menyeringai, dan mulai dengan membunyikan tangga nada dasar secara berurut, dari C ke C lagi. Piece of cake. Dengan satu jari aku menirukannya.

Wynn tergelak. "Gunakan semua jari, mengalir, halus, jangan kayak nunjuk jidat orang."

Aku ulang dengan lima jari yang kaku. Wynn memperbaiki posisi pergelangan tanganku.

"Angkat dikit, jangan bertumpu kayak di keyboard komputer," katanya. "Dulu Mama pernah uji coba calon guru piano privat untukku. Ketahuan, metode disiplinnya dengan memasang jarum di sepanjang tuts, bagian tajamnya menghadap ke atas. Kalau pergelangan tanganmu turun, bakal ketusuk. Mama mengusir dia. Lalu dapat pengajar super sabar, Om Kevin Chen. Sekarang malah sudah diangkat jadi guru musik di Darmawangsa."

Write Me His Story (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang